Sayangnya, belum setengah hari dari hari pertama MPLS, rasanya Athan ingin pulang saja ke rumah. Ia terus diperhatikan, banyak tatapan yang entah apa artinya mengarah padanya. Rasanya benar-benar memuakkan, padahal hanya memakai selang oksigen transparan, tapi orang-orang melihatnya sebagai sesuatu yang aneh.

"Athan jelek banget kayaknya." Gumam Athan yang ternyata masih bisa didengar oleh Atala, saudara kembar yang kini juga menjadi teman sekelasnya.

"Kok ngomong gitu?"

"Soalnya Athan dilihatin terus." Kepala anak itu tertunduk. Dengan tangan kurusnya, ia memainkan selang yang menjuntai; terhubung dengan oksigen konsentrator yang ia bawa. "Malu, kak ... Pasti mereka mikir yang aneh-aneh karena Athan pake ini."

Atala memang bukan seseorang yang mampu membuat lelucon untuk mengembalikan senyum saudaranya, tapi ia adalah seorang Atalaㅡyang akan melakukan segala cara untuk membuat saudaranya tersenyum. "Lihat, dek!"

Kepala Athan terangkat, pandangannya langsung disita oleh sesuatu yang mencuat di antara rambut tebal Atala. Kunciran. Atala mengingkat kedua sisi rambutnya dengan karet dan membuat itu seperti antena. "Biar Athan gak malu sendirian, biar orang-orang salfok-nya ke aku aja."

Seharusnya Athan tertawa dengan apa yang kembarannya itu lakukan, tapi ia justru menangis. Tidak menimbulkan suara, namun cukup membuat Atala dilanda kepanikan. Sebab menangis bisa menjadi pemicu sesak napas bagi adiknya itu.

Tak peduli dengan keberadaan mereka yang masih dikelilingi siswa baru lainnya, Atala langsung menarik tubuh Athan ke dalam pelukan. "Jangan nangis, dek, nanti sesak. Udah, ya?"

"Atala, makasih, ya ..."

***

Setelah pulang dari sekolah, Athan langsung masuk ke kamar. Hari ini rasanya begitu melelahkan, padahal kegiatan MPLS hanya itu-itu saja. Mendengarkan materi, mencatat materi, dan menyaksikan ini itu. Terus terulang sampai membuat ia bosan sendiri.

Namun, dibalik itu semua, ada perasaan bangga karena Athan mampu berdiri di antara anak-anak yang lain. Walaupun siapapun juga bisa menemukan perbedaan yang mencolok itu.

"Gak apa-apa, ya, Athan. Kamu masih kelihatan ganteng kok," ucapnya seraya memandang pantulan diri pada cermin.

Sejak satu tahun terakhirㅡralat, sejak ia terlahir, Athan tahu bahwa ia adalah manusia pilihan. Kata Arion, di antara ribuan anak yang lahir setiap harinya, Athan terpilih untuk turut serta membawa serta tubuh spesial-nya melihat dunia.

Kelainan pada paru-paru katanya disebabkan faktor genetik. Setelah mengetahui itu, Athan tak lantas menyalahkan takdir. Bahkan ketika fakta bahwa dia satu-satunya keturunan Prahaja yang terlahir sakit, ia tidak mempermasalahkan itu.

Walaupun seringkali menangis sendirian di kamar, tapi Athan berusaha untuk tidak menunjukkan hal itu di depan keempat kakaknya yang lain. Apalagi Adara, si sulung dan satu-satunya perempuan di rumah itu. Kakaknya yang paling cengeng.

"Adeknya kakak lagi ngapain?"

Suara Adara terdengar. Athan menoleh, lalu tersenyum melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Setelah puas berdiri di depan cermin, kini ia mulai mendudukkan diri di tepian ranjang, diikuti oleh Adara setelahnya.

"Kak, maafin adek, ya?"

"Eh? Maaf kenapa? Adek 'kan gak bikin salah apa-apa."

Athan mengalihkan pandangan ke bawah, tak kuasa membalas tatap dengan kakak pertamanya itu. "Tadi pagi adek udah bikin kalian sedih. Padahal seharusnya adek sadar sama kapasitas diri sendiri, tapi adek malah bandel. Adek malahㅡ"

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now