Adik Kecil Kami

12.2K 414 12
                                    

Kata orang, hidup Athanala Prahaja itu sempurna. Walaupun telah ditinggal pergi tuan dan nyonya Prahaja, tapi Athanㅡpanggilan akrab anak laki-laki berusia 15 tahun itu masih memiliki tiga kakak laki-laki dan satu kakak perempuan.

Apakah menyenangkan menjadi bungsu? Tentu saja, Athan akui itu. Walaupun tidak ada Mama yang membantu merawat Athan, menyuapi ketika sakit, atau memasak bekal untuknya. Walaupun tidak ada Papa yang memberinya uang saku bulanan, membeli mainan, atau menemaninya belajar.

Tapi, Athan memiliki keempat kakak yang bisa memberikan semua itu, membuatnya tak akan pernah kekurangan. Athan dijaga dengan baik, disayangi dengan tulus. Ia benar-benar membuat iri banyak orang atas hidupnya. Padahal, Athan juga tidak sempurna.

"Selamat pagi kakakku semua!"

"Selamat pagiㅡadek?!" Aktivitas Arionㅡanak kedua Prahaja itu terhenti seketika saat melihat adik bungsunya berjalan mendekati meja makan dengan penampilan yang berbeda. Tubuhnya sudah dibalut dengan seragam, rambutnya diatur serapi mungkin, tapi ...

"Kok nasal cannula-nya dilepas?" Kali ini suara dari si anak ketiga terdengar, Arsen. Tanpa menunggu jawaban dari sang adik, ia dengan cepat menangkup pipi Athanㅡyang kini sudah duduk di sampingnya. "Kenapa dilepas, dek? Kamu 'kan masih butuh itu."

Athan menggeleng, ia lantas menepis lembut tangan Arsen dari pipinya. "Hari ini 'kan hari pertama adek masuk SMA. Masa harus pakai itu, sih? Malu, kak," ucapnya beralasan. Napasnya terengah diakhir, membuat semua orang di meja makan semakin dibuat panik.

Atalaㅡanak keempat itu segera berlari menuju kamar Athan, membawa oksigen portable yang selama ini membantu adiknya bernapas. Sedangkan si sulung, Adara, langsung bergegas melepas kancing kemeja seragam bagian atas dan melonggarkan ikat pinggang.

Semuanya menjalankan tugas masing-masing. Termasuk Arion yang kini mengambil alih posisi Arsen. Tangannya dengan telaten membantu memasangkan selang oksigen tersebut ke hidung sang adik. "Hirup, dek, biar napasnya enakan."

Tidak seperti Athan yang biasanya menurut. Kali ini anak itu menolak diberikan bantuan. Kepalanya menggeleng dengan mata terpejam, merespon dengan penolakan, padahal napasnya terdengar memilukan untuk didengar. Cepat dan tak beraturan.

"Gak mau, kak!"

"Dek ... Jangan begini. Kalau kamu gak mau pake selangnya, kakak gak bakal izinin kamu berangkat sekolah." Telak Arion dengan ancamannya yang tak pernah gagal. Karena tepat setelah kalimat itu terucap, Athan mulai diam dan membuka mata perlahan.

Kesempatan itu tak mungkin disia-siakan. Arion kemudian memasangkan selang oksigen tersebut, mengaitkan ke belakang telinga Athan, dan sedikit memperbaiki posisinya agar tetap nyaman. Sedangkan ketiga kakaknya yang lain masih menatap dengan penuh cemas.

"Mau sekolah, kak ..." Cicit Athan disela tarikan napasnya mulai berpacu stabil, tapi tak dapat dipungkiri jika wajahnya terlihat pucat.

"Iya, adek boleh sekolah. Tapi ..." Arion menyentuh selang yang melintang di bawah hidung Athan, teman akrab sang adik selama satu tahun terakhir. "Ini jangan sampai dilepas, ya? Athan 'kan adik kakak yang paling ganteng, buat apa malu?"

Sejujurnya ada perasaan sakit dalam diri Atala saat melihat adik kembarnya seperti ini. Padahal sekolah umum sudah menjadi wishlist-nya sejak kecil, tapi terkabulnya keinginan itu tak lantas membuat ia merasa normal.

"Nurut ya sama kakak, ini juga demi kebaikan adek."

***

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau biasa disingkat MPLS selalu menjadi ajang bagi para siswa baru untuk mendapatkan teman sebanyak mungkin. Tak terkecuali Athan, ia selalu berkhayal tentang kehidupannya di SMA. Apakah persis seperti yang digambarkan novel favoritnya atau tidak.

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now