Prolog.

89 17 6
                                    

Aku, sang Amerta yang belum menemukan titik keabadiannya. Perkenalkan, Medina Reihana Amerta dan dunia menyebutku Rei. Aku adalah perempuan berantakan yang perlahan menata ulang hidup, semampu jiwa dan raga sendiri.

Aku, sang perempuan yang lahir dalam ketidakberuntungan dunia. Ibundaku tidak mengakuiku sebagai putrinya hanya karena aku adalah 'perempuan'. Ayahku berselingkuh dengan wanita yang masih ada ikatan persaudaraan dengan ibundaku, saat itu ketika usiaku genap 1 tahun. Bunda mengalami stress kala itu hingga melampiaskan emosinya pada rokok dan hal tidak menyenangkan lainnya, tak jarang pula Bunda melampiaskan amarahnya kepadaku.

Aku, sang perempuan yang pernah ditinggalkan kedua orang tuaku di sebuah rumah besar bersama dengan kakakku, Andika Mahardhika Sulaiman. Ayah pergi dengan alasan pekerjaan, dan Bunda dengan alasan berkunjung ke rumah nenek. Padahal dalam kenyataannya, mereka justru sama-sama berselingkuh, yang dimana Bunda dengan dendamnya pada Ayah, dan Ayah yang memang pada mulanya gila perempuan. Benar, keduanya memilih selingkuh sebagai jalan saling menyakiti satu sama lain. Keduanya memilih saling memeluk dan menusuk, serta membunuh 2 buah hatinya tanpa ampun. Apa? Buah hati?

Aku, perempuan yang hingga usia 17 tahun ini harus terus bertahan seolah aku ini utuh. Di umurku yang ke 2 tahun, Ayah dan Bundaku memilih perceraian sebagai jalan agar mereka mendapatkan kebahagiaan yang mereka dambakan, dan menikah dengan orang orang yang mereka cintai.

Lalu bagaimana dengan aku dan Kakak?

Kami menggenggam erat luka yang kami boyong sejak kecil sampai dengan detik ini. kami terbunuh, tapi kami tidak mati. Sialan.

Aku, sang perempuan yang hingga kini masih mencoba berdamai dengan hal-hal buruk yang terjadi. Adalah aku yang memeluk lukaku sendiri, pula dengan aku yang belum menemukan celah bahagiaku di bumi.

Keluarga? pengaruh keluarga tentu menjadi pengaruh besar untuk kehidupan kedepan, terutama bagi anak perempuan. lalu bagaimana dengan hancurku yang hadir sejak kelahiranku, dan bahkan hancur ini tidak membaik sampai detik ini, tapi.. Tuhan masih berbaik hati mengujiku dengan berbagai luka yang tentu membuatku seolah ingin berhenti.

Berbagai gagal aku lalui, sesak dan sakitnya kutanggung sediri, dunia ini berisik..
Kudengar dunia tidak menerima kurang, bahkan pernah kudengar..

"lagian perempuan yang ancur hidupnya memang gak layak dapet cinta"

***

Tapi bolehkah? Bolehkah aku mengharapkan sebuah ketulusan untuk membuatku setidaknya merasa 'pulang'?

Atau bahkan apabila aku meminta seseorang yang dapat memeluk erat tubuhku saat aku mendaki duka, yang memberiku lilin saat aku ketakutan dalam kegelapan? Atau..

Atau sekedar seseorang yang menghapus air mataku saat aku terluka? Mungkin sekedar seseorang yang membuatku setidaknya merasa aman? apakah ada? apakah aku boleh berharap? apakah..?

***

"Rei, kita usahakan segala yang menjadi impian kamu ya?" Katanya dengan nada yang lembut, aku merasakan ketulusannya hingga aku hanya mampu membalasnya dengan anggukan.

Aku menunduk, merasakan segala buruk buruknya cinta seolah menjadi bayangan besar yang mengikutiku dan hampir membunuhku.

"Terima kasih sudah hidup ya, Za?" Ucapku lirih, Kepalaku pening.

"Terima kasih sudah bertahan ya, Reihana" Katanya dengan senyum indahnya, dan tangan besar yang mengelus rambutku dengan hangat, seolah memang ia tahu hancurku disana.

***

Halo! Sebagai pembuka.
Selamat datang dan selamat memeluk semestaku, ya!
Terima kasih sudah berkunjung untuk memeluk segala kebaikannya.
Dan, jangan lupa tinggalkan jejak!

Instagramku: @ryntiv

REGANZZAWhere stories live. Discover now