9| Roti Isi

12 2 0
                                    

"Nalaaaa ...."

Aku tersenyum lebar begitu melihat dirinya ada di dalam kelas sedang bermain ponsel. Ada perasaan lega begitu melihatnya lagi di hari kedua setelah aku kembali ke masa ini.

Semalam, aku nyaris tidak bisa tidur sebab takut jika tiba-tiba aku terbangun dan berada kembali di rumah sakit.

Tapi syukurnya, aku masih ada di sini. Melihatnya secara dekat seperti ini. Tanpa kesulitan lagi.

"Kamu kapan mulai latihan panahan?"

Semalam juga, aku memikirkan matang-matang cara mendapatkan hati Nala. Kembali ke masa ini itu berarti menjadi kesempatan besar untuk mendapatkan hati Nala 'kan? Jadi ... ku mulai saja dengan pertanyaan seperti itu.

Dia meletakkan ponselnya, lalu menjawab, "dari kemarin."

Aku mengatupkan bibir.

Belum apa-apa aku sudah bingung mau membicarakan apa dengan pria itu.

Nala itu memang pendiam, bahasanya terkesan kaku, dan sedikit dingin. Jadi, memang agak sulit untuk berkomunikasi dengannya.

Aku ingat, aku dengannya dulu memang tidak dekat. Kami hanya berbicara seperlunya. Aku dan dia kelihatan sering bersama sebab dia duduk sebangku dengan Akbar.

"Nanti di kantin mau jajan apa?" Aku masih berusaha.

"Siomay," jawabnya tanpa berpikir, lalu melanjutkan, "sama es teh."

Ah, iya, itu memang makanan favoritnya.

"Nanti ke kantinnya bareng, ya?"

Dia mengangguk.

Tuh kan ... bagaimana bisa orang sedingin ini tiba-tiba menyatakan perasaannya di hari perpisahan sekolah? Sangat tidak mungkin. Sangat tidak masuk akal.

Yap, waktu itu Nala memang pernah menyatakan perasaannya padaku waktu perpisahan SMA. Dia tiba-tiba datang menghampiriku yang sedang berfoto ria dengan Anggia dan yang lainnya, kemudian mengajakku bicara empat mata di belakang kelas.

Setelah itu, dia mengungkapka bahwa dia telah menyukaiku sejak lama.

Aku yang waktu itu mengira bahwa selama ini aku hanya mencintainya seorang diri dan diam-diam tentu saja merasa terkejut dengan pengakuannya waktu itu.

Tapi melihat sikap dinginnya yang sekarang ini. Aku jadi ragu. Mana mungkin dengan sikapnya yang seperti ini dia menyukaiku?

Yang dimaksud sejak lama oleh Nala itu sejak kapan?

"Al?"

"Iya?"

"Mau ikut saya latihan?"

Aku membeku.

***

"Nanti pulang sekolah nggak ada kegiatan apa-apa 'kan, Al?"

Saat ini aku sedang berada di koridor sekolah setelah dari ruang guru karena diminta oleh Bu Eva mengambil buku kumpulan soal Matematika untuk dipelajari. Di sebelah kanan ku ada Reiki yang berjalan sejajar denganku dengan membawa buku yang sama sebab kami satu tim.

"Pulang sekolah belajar dulu, yuk, di perpustakaan daerah? Ngerjain ini." Reiki mengangkat buku dengan tebal sekitar 600 halaman itu.

Aku menatapnya sambil berjalan, kemudian menengguk ludah. Melihat tebal halamannya saja sudah membuat bulu kudukku merinding. Apalagi mengerjakannya?

Kenapa dulu aku sanggup mengerjakan soal-soal di buku itu? Sungguh di luar nalar.

Ah, iya, lagipula ... aku kan ada janji dengan Nala untuk ikut latihan panahan dengannya.

Nala & MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang