"Jadi mau beli apa?" tanya Azlan kepada gadis disampingnya, ia memperhatikan sejenak tinggi badan Maura yang sejajar dengan telinganya. Cukup tinggi juga.

Diam-diam Azlan tersenyum tipis, ia justru teringat gadis pendek yang sekarang sudah benar-benar berubah drastis. Silmi, gadis itu semakin dingin tak tersentuh, semakin menjaga jarak.

Ah, apa yang Azlan pikirkan? Jelas-jelas disampingnya saat ini adalah calon tunangannya. Azlan mengusap gusar wajahnya.

Maura melirik Azlan yang terlihat tidak nyaman, ia mengulum bibir.

"Maaf kalau saya ngerepotin." Katanya formal.

Buru-buru Azlan menggeleng tegas, "nggak, astagfirullah, nggak kok!"

Hati Maura menghangat, pemuda didepannya ini selalu berusaha membuat orang nyaman didekatnya.

"Jadi kamu mau beli apa?" tanya Azlan lagi.

Maura meringis, "mau itu." Tunjuknya pada ransel merah yang tergantung diatas kepalanya.

"Tapi nggak jadi."

"Kenapa?"

Maura menggigit bibir, "gapapa."

Azlan menghela nafas. Ia maju selangkah kemudian berjinjit sedikit meraih ransel itu. Jaraknya yang terlalu dekat dengan Maura, membuat gadis itu menahan nafas. Ia sampai mencium bau parfum yang dipakai Azlan, harum sekali.

Ketika ransel merah itu telah diraihnya, barulah Azlan mundur selangkah. Ia menyodorkan ransel tersebut kepada Maura.

"Kalau emang mau dan selagi ada uang, ya beli." Katanya.

Maura menunduk menatap ransel merah itu, tangannya menerima dan mengucapkan terimakasih.

"Tapi, baiknya kalau ada uang beli yang paling di butuhin aja." Lanjut Azlan tersenyum tipis, membuat debaran jantung Maura tak normal.

"I-iya."

Azlan mengedarkan pandangan, barangkali ia juga ingin membeli sesuatu. Namun...

"Silmi..."

Mata Azlan terpaku dengan tubuh berdiri kaku.

Eksistensi gadis bercadar yang kini berdiri tegak didepannya, membuat pasokan oksigen terasa menghilang.

Maura ikut menatap arah pandang Azlan ketika mendengar lirihan pemuda itu menyebut satu nama, nama yang membuatnya hampir mati penasaran ketika Wais pernah menyebutkannya.

Sedangkan Silmi, gadis itu melengkungkan senyum terbaiknya. Ia melangkah mendekat, sembari menyembunyikan tangan kirinya yang bergetar.

"Assalamu'alaikum." Salam Silmi.

"Wa'alaikumussalam." Balas keduanya bersamaan.

Silmi tak menatap Azlan sedikitpun, ia hanya terus memandang lembut kearah Maura. Tidak heran Azlan mencintai gadis ini, ia cantik, anggun, dan sekali lihat saja Silmi menyadari perilaku gadis ini pasti lembut.

"MasyaAllah..." gumam Silmi.

Maura melirik Azlan, ia dapat melihat dengan jelas, mata Azlan menunjukkan luka, dan Maura yakin sekali, gadis didepannya adalah gadis yang telah berhasil mengambil hati Azlan, hingga membuat pemuda itu pernah meminta izin melepas janjinya, saking cintanya dengan cinta yang sekarang dibanding cinta yang tumbuh dulu.

Maura mendekat perlahan. Ia menyodorkan tangannya berniat berjabat tangan sebagai tanda perkenalan.

"Ayyana Maura Olivia."

Silmi membalas jabatan itu cepat. "Hayatul Silmi Azizah."

"Kamu satu sekolah sama Azlan?" tanya Maura.

Silmi mengangguk.

"Kalian dekat?"

Silmi dan Azlan menatap Maura lekat. Silmi langsung terkekeh hambar. "Belum tentu yang satu sekolah, bisa akrab."

Entah mengapa hati Azlan sakit mendengarnya.

"Ta—"

"Kamu? Calon tunangan Azlan?" kini giliran Silmi yang bertanya.

"Iya." Maura menjawab ragu-ragu.

Silmi manggut-manggut paham. Sungguh jika kalian berpikir Silmi baik-baik saja, maka kalian salah besar. Sekarang, hatinya sudah sehancur itu. Namun ia berusaha kebal, lagipula ia telah berjanji pada sendiri untuk tidak mengejar nama seseorang dalam do'a lagi.

Niatnya yang ingin membeli gamis hari ini, jadi ia urungkan. Rasanya semua gamis menjadi jelek dimatanya. Kenapa juga ia memilih mall ini? Padahal masih ada mall yang lain.

"Kamu cantik." Puji Maura.

"Hadza min fadli rabbi." Lirih Silmi. "Kamu tidak kalah cantik, masyaAllah. Tidak heran Azlan secinta itu."

Jelas-jelas, yang Azlan suka itu kamu. Batin Maura.

Ia merentangkan tangan, memberi satu anggukan pada Silmi, menyuruh gadis itu memeluk tubuhnya.

Sesaat Silmi terpaku, tapi seperkian detik ia tersenyum lembut. Membalas pelukan Maura dengan erat.

Sungguh, Azlan benar-benar ingin menangis menyaksikan semua ini. Bagaimana mungkin, cinta masa lalu dan masa sekarang, bertemu dan saling merengkuh seperti ini?

Maura melepas rengkuhannya, ia tak memudarkan senyumnya begitupun Silmi.

"Aku boleh minta kontak kamu?"

Lagi-lagi Azlan memberi tatapan tanda tanya.

"Boleh." Silmi menerima ponsel Maura ketika gadis itu menyodorkan ponsel pintarnya. Mengetikkan nomornya tak lupa menyertakan nama, kemudian mengembalikan ponsel tersebut kepada pemiliknya.

"Kamu kenapa dari tadi diam?" tanya Maura ditujukan untuk Azlan, ia bertanya dengan hati-hati agar tak terlihat begitu akrab dimata Silmi.

Pemuda itu jadi kikuk.

"Ah, gapapa." Ujarnya canggung. Silmi meliriknya tak minat sejenak namun kembali membuang pandangan seolah semalas itu biarpun hanya bertatapan saja.

"Aku harus pulang." Kata Silmi.

"Loh, bukannya baru sampai?" tanya Maura.

Silmi meringis pelan, ia terpaksa berbohong agar bisa pergi secepatnya dari sini. "Ibu saya tiba-tiba ngechat, katanya harus pulang sekarang."

Azlan tidak sebodoh itu percaya, sejak tadi Silmi tidak memegang handphone. Jelas sekali, gadis itu tidak nyaman berada di dekatnya.

Andai Azlan tahu, yang Silmi rasakan bukan ketidaknyamanan, melainkan rasa sakit.

"Yaudah, kita ketemu lagi nanti."

Silmi mengangguk, "saya pergi dulu, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam..."










Tbc.

Follow IG ku :

wattpad.mejza_

Surat Takdir Dari Tuhan ✔️Where stories live. Discover now