[16] Ada Yang Hilang!

Start from the beginning
                                    

Azlan menghela nafas berat, membuang pandangan kesegala arah, memutus pandangan dengan sepupu yang bisa-bisanya paham sekali dengan perasaannya.

Tak sadar mata pemuda itu berkaca-kaca.

"Iya, Cil. Padahal dia orang yang selama ini gue cari-cari, tapi kenapa gue nggak puas? Batin gue selalu bilang, dia bukan Aya. Bukan, Aya-nya Azlan."

"Bang..." Wais jadi ingin menangis.

"Tapi gue udah janji, gue nggak mau ingkar."

"Lo kenapa jadi bego?"

Azlan dan Wais spontan berbalik kebelakang, dimana diambang pintu Afnan dan Fyan berdiri kaku. Bungsu Atharauf itu mendekat, dan Fyan mengekor dibelakang.

Ia berjongkok mensejajarkan diri dengan saudaranya.

"Lo kek bukan Azlan yang gue kenal? Kenapa lo nggak egois aja, pentingin juga perasaan lo, bang. Gue..." air mata Afnan luruh. Ia menggigit kuat-kuat bibirnya upaya menahan isakan yang ingin keluar.

"Gue... Gue mau abang, bahagia sama pilihannya."

"Dia pilihan gue sejak awal."

"Bang!"

"Gue bisa, gue pasti bisa cinta lagi sama Aya yang sekarang. Meskipun nggak sebesar cinta gue ama Aya yang dulu, tapi gue bakal berusaha."

"Terus Silmi?"

"Dia bukan siapa-siapa gue."

"Dia-"

"Belum tentu juga dia punya perasaan ama gue."

"Lo nggak bakal paham perasaan Silmi."

"Lo juga nggak bakal paham."

Fyan dan Wais hanya menjadi pendengar, perdebatan mereka terlalu serius, hingga mereka tidak ingin ikut campur.

Melihat adiknya yang terus menangis, Azlan merengkuh tubuh Afnan dengan erat.

Hingga suara tangis Afnan benar-benar keluar, ia sakit hati. Sakit sekali melihat kakaknya menderita karena perasaannya, karena janjinya.

"Abang gue... gob..lok banget!" katanya dengan isakan yang terus keluar, membuat kata-katanya terbata-bata.

Sebab Wais dan Fyan berada didepan Afnan, otomatis mereka tidak dapat melihat Azlan yang memunggungi mereka.

Bahkan Afnan sekalipun tidak tahu, Atharauf Azlan Nuzula menangis dalam rengkuhannya.

***

"Saya bantu kamu kerjain tugas bahasa indonesia, mau?" tawar Raiz.

Silmi tanpa mengangkat pandangan hanya menjawab dingin. "Nggak usah."

"Saya punya jawabannya."

"Saya bisa jawab sendiri."

"Beneran nolak nih?"

Nadhif melayangkan tatapan sinis kearah Raiz, sumpah yaa, telinganya panas mendengar celotehan Raiz yang tiada ujungnya.

"Dia bilang nggak usah, anda tuli kah?" Sarkas Nadhif.

Raiz menghela nafas pelan. "Yaudah, oke." Kemudian ia kembali ke bangkunya yang paling depan.

"Berisik banget jadi cowok." Kesal gadis itu.

Silmi terkekeh pelan nyaris tak terdengar. "Udah, gapapa."

"Dia lupa kali, ya... Secara kamu ratunya bahasa indo."

"Haha, berlebihan kamu. Kamu juga ratunya bahasa inggris."

Nadhif membuang pandangan. "Biasa aja."

"Definisi merendah untuk meroket."

Kemudian keduanya tertawa bersama, sebenarnya humor mereka receh sekali. Apa-apa ketawa, cuma tertutupi wajah kalemnya.

"Saya ke toilet dulu, Dhif." Kata Silmi sembari berdiri dari duduknya.

"Aku temenin?"

"Nggak usah, bentar doang."

Setelahnya Silmi keluar dari kelas saat Nadhif mengangguk mempersilakan.

Koridor sepanjang kelas masih sangat sepi, tak ada suara murid-murid yang ribut seperti biasa, sangat sunyi.

Silmi mengulum bibir, sejenak ia menoleh kesamping tepat di kelas 12B, semua murid terlihat begitu fokus mencatat. Tak ada guru sama sekali, namun luar biasanya tak satupun dari mereka yang berbuat onar.

Cocok sekali sebenarnya 12B menjadi 12A.

Hingga ketika ia kembali menoleh kedepan, eksistensi Azlan berjalan berlawanan arah -semakin dekat jaraknya dengan Silmi, gadis itu secara sengaja menunduk dalam.

Pemuda tinggi tersebut juga tak melirik sedikitpun, ia menatap koridor dengan pandangan lurus kedepan.

Bahkan tak cukup waktu satu detik bagi keduanya berjalan sejajar. Langkah keduanya dipercepat. Benar-benar enggan berada ditempat yang sama terlalu lama.

Tepat didepan kelas 12C, Azlan spontan menghentikan langkah. Ia berbalik ke belakang hanya untuk sekedar menatap sejenak gadis bercadar itu.

Silmi terlihat berlari kecil, hingga siluetnya tak terlihat lagi.

Gue ngerasa ada yang hilang dari hidup gue semenjak ketemu lagi sama, Aya. Ada suasana yang berubah, dan perasaan gue yang nggak pernah tenang.

Azlan tersenyum masam sembari menghela nafas berat. Ia meneguk ludah susah payah yang terasa pahit.

Bertemu dengan Maura tidak membuatnya lega, justru dirundung gejolak aneh dalam dada. Rasa tidak percaya masih menggerogoti hatinya. Bahkan suatu harapan masih tinggal dalam benaknya, semoga fakta kemarin hanyalah bunga tidur untuknya. Jika benar seperti itu, Azlan tidak akan mampu tertidur lagi. Mimpi ini terlalu buruk.

Lagi, Azlan menghela nafas penuh beban. Kemudian melanjutkan lagi langkahnya yang sempat ia tunda.

Sedangkan didalam kelas 12C, Nadhif yang sejak tadi memperhatikan gelagat Azlan dari dalam sini, mengerutkan kening bingung.

"Dia liatin siapa?" gumamnya bertanya-tanya. "Silmi, kah?"

Nadhif mudah menduga-duga. Ia seakan bisa mengerti raut wajah yang ditunjukkan Azlan tadi. Patah hati? Yah, jelas sekali seperti itu.









Tbc.

Hehehe, nyengir aja dulu

Follow IG :

wattpad.mejza_

Surat Takdir Dari Tuhan ✔️Where stories live. Discover now