14. Siluet Masa Depan

9.3K 367 16
                                    


Bumi menggosok rambut basahnya perlahan, mencoba mengeringkan dengan handuk sebelum ia tidur. Lelaki itu keluar dari kamar mandi setelah menghabiskan nyaris tiga puluh menit di kamar mandi, mengguyur tubuhnya dengan air hangat guna mengusir rasa lelah sekaligus bebersih diri setelah seharian berada di luar rumah.

Bumi baru saja hendak berjalan ke meja rias saat menemukan Ansara yang sudah lebih dulu terlelap di kasur dengan posisi membelakanginya. Memilih acuh, Bumi lantas kembali berjalan kearah meja rias, kemudian mengecek dirinya sendiri didepan kaca rias. Lingkaran hitam di bawah mata menandakan betapa kelelahan dirinya baik secara fisik maupun pikiran.

Tadinya, Bumi hendak tidur di sofa, persis seperti malam-malam sebelumnya. Namun, menyadari betapa menginginkannya ia tidur dalam keadaan nyaman di kasur, membuatnya berpikir dua kali. Jika ia memilih tidur di kasur, maka itu artinya, Bumi juga akan tidur dengan Ansara. Dan itu juga yang sebenarnya selama ini Bumi hindari.

Lelaki itu lantas memilih duduk di meja rias selama beberapa lama, berkontemplasi dengan dirinya sendiri guna menentukan pilihannya. Bumi berakhir berdecak dan mengumpat sendiri. "Masa bodo lah".

Memilih untuk tidur disebelah Ansara, Bumi lantas naik ke atas kasur dan menarik selimut untuk menutupi dirinya. Lelaki itu kemudian memilih untuk memejam, namun terusik sendiri. Sebenarnya, sejak tadi, ada sesuatu yang mengganggu dirinya. Sebabnya adalah gaun malam Ansara yang tersingkap sebagian hingga menunjukkan sebelah pahanya hingga nyaris ke pangkal, kemungkinan dikarenakan sang gadis yang bergerak tanpa sadar dalam tidurnya.

Ditambah lagi, aroma wangi entah dari sampo atau parfum yang Ansara kenakan, yang entah mengapa berhasil terhirup indera penciuman Bumi dari jarak yang sedekat ini, membuatnya makin tak bisa memejam dengan tenang. Ini pertama kalinya mereka tidur bersama, tapi belum-belum, Bumi sudah kelimpungan sendiri.

Semuanya tidak terasa familier, mungkin itu lah yang membuat kepala Bumi pening, sebab berhasil menggangu tenangnya.

"Ck. Nyusahin aja. Besok-besok saya suruh pakai celana panjang aja kalo tidur". Omel Bumi pelan, perlahan turut menarik selimut dan menutup pusat kepeningannya malam ini, yaitu tubuh Ansara.

Kulit paha putihnya yang terekspos, kini sudah berhasil diatasi dan tertutup full dengan selimut. Namun, masalah aroma bunga-bungaan itu, entah bagaimana Bumi mengatasinya. Lelaki itu menghembuskan nafas kasar, kemudian memilih menghadap arah lain dan memejam, berupaya mengisi otaknya dengan memikirkan pekerjaan agar pikiran kotornya bisa luruh.

Sialan si An, gimana pun saya ini kan laki-laki normal. Memang gak takut saya apa-apain tidur dalam posisi menantang begitu? Bodoh ya dia itu?

———

Ansara merasakan helaan nafas menyapu pundaknya saat mata cantiknya perlahan mengerjap. Kesadaran yang masih belum terkumpul sepenuhnya itu, pada akhirnya membawanya bertanya-tanya sendiri. Angin dari mana yang berhembus repetitif begitu di belakangnya?

Sontak, Ansara menoleh, dan netranya melebar seketika saat menemukan wajah Bumi yang tengah tertidur di sebelahnya. Wajah tampan itu kini terlihat begitu damai, tidak penuh aura dominan seperti biasanya. Dari jarak sedekat ini, Ansara baru memperhatikan dengan jelas bagaimana detail wajah dari seorang Bumi. Garis rahang yang tegas dengan batang hidung yang tinggi, ditambah bibir yang terbentuk sempurna dengan ukuran yang pas, nyatanya membuatnya terpesona dalam hitungan detik.

Tanpa sadar, jemari Ansara nyaris menyentuh bibir Bumi, pusat dimana seluruh kata-kata pedas dan menyakitkan untuknya selalu keluar. Namun, belum sempat Ansara menyentuhnya, Bumi sudah lebih dulu membuka mata, membuat Ansara sontak bangkit dari posisinya dan salah tingkah sendiri.

"Ngapain kamu?". Tanya Bumi heran, sebab rasanya sempat melihat jemari Ansara tepat di depan wajahnya.

Ansara sendiri makin gelagapan. "Eng.. Nggak ngapa-ngapain, Mas. Kamu.. Tumben tidur di kasur?".

"Memangnya gak boleh? Kasur ini punyamu?". Balas Bumi sinis, yang herannya malah membuat Ansara terkekeh.

Terbiasa mendengar nada ketus Bumi untuk beberapa lama, membuatnya tak lagi merasa ucapan-ucapan itu menakutkan. Sebaliknya, Ansara malah menemukan sifat ketus Bumi itu lucu, seperti kucing hitam yang gemar marah dan sulit didekati. "Ya, nggak. Punya kita kok. Aku heran aja, soalnya ini pertama kalinya kamu mau tidur sama aku".

Ansara menutup bibirnya sendiri, pipinya pun sontak memerah karena bicaranya bermakna ganda. "M—Maksudku bukan tidur yang itu ya, Mas. Tidur yang merem".

Kalau saja Bumi tidak membenci Ansara, lelaki itu pasti saat ini sudah tertawa. "Ngomong apa sih? Memang ada tidur yang gak merem?".

Ansara menggeleng. "Aduh, gimana ya jelasinnya? Itu loh, Mas.. Tidur yang suami istri. Eh? Aduh, kenapa jadi ngomongin itu sih...".

Entah hanya perasaan Ansara saja atau memang barusan senyum Bumi sempat terlihat sedetik?

"Seks maksudmu? Tenang aja, saya gak akan lakuin itu sama kamu". Balas Bumi santai, membahas hal yang nyatanya tabu untuk Ansara.

Sang gadis mengerutkan keningnya. "Memangnya kenapa, Mas? Kan kita suami istri?". Detik selanjutnya, Ansara terkejut sendiri, kemudian menkoreksi diri. "Eh, kok jadi kayak An minta ke Mas ya? Bukan gitu loh, Mas. An cuma penasaran aja, soalnya kan.. Bukannya itu salah satu hal yang wajar dalam pernikahan?".

"Saya gak lakuin itu dengan sembarang orang". Balas Bumi singkat. Lelaki itu lantas memilih bangkit, hendak menyudahi obrolan yang takutnya akan menguji kewarasannya lagi, terlebih, lawan bicaranya itu nampaknya polos bukan main. "Kamu memang istri saya. Tapi, kita bahkan gak saling mengenal, An. Saya juga gak berniat sejauh itu. Jadi, kamu tenang aja".

Ansara malah kembali bersuara, seakan masih tak mengerti dengan perbedaan paham diantara mereka. "An mau kenal Mas Bumi lebih jauh..".

Hal itu membuat Bumi menoleh, mendengarkan ucapan sang gadis yang sampai membuatnya mengerutkan kening. Ansara lantas melanjutkan bicaranya. "An pengen belajar semua soal Mas Bumi, pengen tahu sosok suami An seperti apa. Aku pengen.. Mengerti Mas Bumi. Supaya perlahan, An bisa belajar jadi istri yang baik untuk kamu".

Bumi memberi jeda yang cukup panjang bagi obrolan mereka, sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Gak perlu, An. Saya rasa kita gak perlu saling mengenal, toh kita punya kehidupan masing-masing. Saya gak berminat juga menjadikan kamu istri idaman".

"Mas..". Panggil Ansara lembut, seakan tengah mencoba menelan sendiri emosinya. "An tahu, sekarang Mas Bumi belum bisa terima kehadiran An.. Tapi, aku yakin suatu hari nanti, kamu bisa menerima aku, Mas. Wajar kalau sekarang kamu merasa pernikahan ini asing, An gak salahin kamu. Dan karena itu, aku juga punya satu tugas dan keinginan yang akan terus aku upayakan".

Ansara pun menjeda bicaranya, sebelum menyelesaikan kalimatnya dengan senyuman tulus. "Yaitu bikin kamu jatuh cinta sama aku, suatu hari nanti".

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang