2. Selamat Tidur, Mas

Începe de la început
                                    

Dan saat Adrian harus mengundurkan diri dari pabrik tersebut karena menikah dan memilih tinggal di Bandung bersama dengan istrinya, Anne, yang mana merupakan ibu dari Ansara, Patria sempat berpesan agar suatu hari nanti, mereka bisa menjadi keluarga. Bahwa suatu hari nanti, keturunannya, harus menikah dengan keturunan dari Adrian, agar mereka bisa menjadi sebuah keluarga. Sebab Patria yakin, Adrian akan memiliki anak-anak yang sama baiknya dengannya.

Mandat itu, tentunya jatuh pada Ansara, sebagai anak pertama di keluarga Adrian. Sedangkan di keluarga Patria sendiri, permintaan itu dijatuhkan pada Bumi, cucu bungsu dari keluarga tersebut yang memang paling dekat dengan sang Kakek. Sejak kecil, baik Bumi maupun Ansara sudah mengetahui mengenai perjodohan mereka. Dan tidak satupun dari keduanya bisa mengelak. Meskipun begitu, tidak sekalipun mereka pernah bertemu, hanya pernah saling mendengar nama. Pertemuan itu baru diatur setelah menjelang pernikahan mereka, tepatnya tiga bulan sebelum menikah.

Dalam menerima perjodohan itu, Ansara yang sejak kecil tidak banyak membantah, menerima begitu saja pilihan dari orangtuanya itu. Berbeda dengan Bumi, yang dengan segala cara berupaya menggagalkan, bahkan terang-terangan membawa kekasih ke rumah. Bumi juga sempat mempertanyakan mengapa dirinya yang harus dijodohi dengan pilihan Kakeknya itu. Dan setelah mengetahui alasannya, Bumi bungkam.

"Soalnya kakak-kakakmu, hidupnya gak sebenar kamu. Mereka dari kecil kan diluar negeri, udah kebiasa free. Kakek gak mau nikahin Ansara sama orang yang gak baik. Dia perempuan baik-baik. Dari kecil, cuma kamu cucu yang penurut dan gak kecewain keluarga. Kakek percaya sama kamu. Nantinya, pabrik dan perusahaan keluarga, Kakek maunya kamu yang urus".

Mendengar perkataan sang Kakek, mau tak mau Bumi kembali menuruti keinginannya itu. Berlaku sebagai seorang cucu penurut yang tak ingin mengecewakan, berakhir menerima perjodohan meski sudah memiliki pilihan hati sendiri, seorang gadis cantik yang ia temui di bangku kuliah, Diandra namanya.

Yang dengan terpaksa, kini harus menerima kenyataan bahwa Bumi sudah menjadi milik oranglain karena perjodohan.

———

Dengan riang, Ansara kembali ke area lobby hotel, menenteng dua plastik makanan di kanan dan kiri, kemudian harus berhenti di area resepsionis karena dihentikan oleh penjaga disana. "Maaf, Bu. Disini gak boleh bawa makanan dari luar".

Ansara terkesiap. "Oh.. Ini saya beli untuk saya dan suami. Gak boleh dibawa kedalam ya?".

"Iya, maaf sekali, Bu. Peraturannya begitu". Balas sang resepsionis.

Ansara menarik nafas panjang, kemudian memutuskan untuk menelepon nomor Bumi, yang sudah ia simpan dengan nama 'Mas Bumi' di ponselnya. Suara Bumi terdengar dari ujung panggilan, begitu berat di telinga.

"Ada apa?". Tanya Bumi ketus.

Ansara menggigit bibirnya. "Mm—Ini mas, aku beli nasi goreng buat kita, tapi gak boleh dibawa masuk katanya. Kamu... Mau makan dibawah gak?".

Suara berdecak langsung terdengar. "Saya udah bilang saya gak laper. Makan sendiri. Kalimat saya kurang jelas tadi?".

Tidak menyangka akan mendengar makian lain, Ansara lantas terbata. "Mm—Mma—Maaf, Mas.. Aku..".

Nada sambung terputus begitu saja bahkan sebelum Ansara menyelesaikan bicaranya. Gadis itu kembali menggigit bibir, merasakan takut selepas mendengar bentakan dari telepon tadi. Dengan tatapan bingung, Ansara menatap kearah resepsionis. "Mm—Mba, kalo gitu, ini makanannya buat Mba dan temennya aja ya? Suami saya udah makan ternyata. Bisa dibawa pulang untuk makan dirumah kalo misal Mba gak bisa makan disini karena lagi jaga. Mau ya?".

Sang resepsionis menatap dengan sungkan, namun berakhir menerima pemberian Ansara tersebut. "Oh.. Terima kasih banyak ya, Bu.. Maaf sekali karena tidak memperbolehkan membawa makanannya ke kamar".

"Ah, gak apa-apa. Yang terpenting gak kebuang aja. Dibawa ya, Mba. Biar kemakan". Ucap Ansara sembari tersenyum. Baru berapa langkah ia meninggalkan meja resepsionis, gadis itu sudah kembali lagi. "Oh iya, Mba.. Saya lupa. Saya gak bawa akses ke kamar 8810, kira-kira bisa dibantu akses kah? Takutnya suami lagi sibuk".

Sang resepsionis mengangguk cepat. "Oh, boleh bu. Dibantu rekan saya ya. Nanti diantar sampai ke lift".

Selepas mengucap terimakasih, Ansara mengikuti langkah petugas hotel yang mengantarnya sampai ke lift. Di dalam lift, ia gugup sendiri. Memikirkan perihal bagaimana nanti masuk kedalam kamar jika Bumi tidak membukakan pintu.

Tanpa sadar Ansara menggigiti tangannya sendiri, berdiri dan mengetuk didepan pintu kamar hotel miliknya dan Bumi. Cukup lama gadis itu menanti, hingga akhirnya pintu terbuka dan menunjukkan raut Bumi dibaliknya, begitu kerung terlihat. "Kamu bisa berhenti ganggu saya kerja gak ya? Saya hitung udah berulang kali fokus saya harus putus karena kamu ganggu".

Setelahnya, Bumi langsung berbalik, berjalan cepat kembali ke tempatnya semula yaitu meja kerja. Lelaki itu bahkan tidak menanyakan bagaimana akhir dari makanan yang Ansara beli, sebab memang sama sekali tak peduli.

"Maaf mas". Suara Ansara kecil terdengar, kali ini memilih patuh dan tidak lagi mengganggu kerja sang lelaki.

Ansara memilih berbaring di kasur setelahnya, mengabaikan lapar yang terasa di perutnya karena gagal mengkonsumsi makanan. Gadis itu meringkuk dan menutupi tubuh dengan selimut, berupaya tidur guna menanggulangi rasa lapar yang menyapa dan tidak lagi berupaya melakukan apapun karena takut mengganggu konsentrasi Bumi di meja kerjanya.

Entah berapa lama Ansara tertidur, ia sendiri juga tak tahu. Yang jelas, saat membuka mata, gadis itu tak lagi melihat Bumi di meja kerja, sebab sang lelaki memilih untuk berbaring di sofa dan memejam. Sepertinya, Bumi memang sama sekali tak berniat seranjang dengannya.

Karena bahkan, di malam pertama mereka, Bumi memilih untuk tidur di sofa yang terhitung kecil dan kurang nyaman, dibanding di kasur king bed yang harus ia bagi dengan Ansara, istri sahnya dimata hukum dan agama. Detik itu juga, Ansara tahu, bahwa Bumi tidak menganggap pernikahan mereka normal, tidak seperti dirinya.

Dengan langkah kecil, Ansara berjalan mendekat, membawa serta gumpalan selimut dari kasur menuju kearah Bumi. Gadis itu kemudian menutupi tubuh Bumi dengan selimut hingga ke leher, berupaya sepelan mungkin agar tidak membangunkan tidur sang lelaki. Tak lupa, Ansara juga berlutut, menyeka dahi Bumi lembut, seumpama sapuan kapas, dan mengucap selamat tidur untuk suaminya itu tanpa pernah diketahui oleh sang lelaki.

"Selamat malam, Mas. Selamat tidur. Semoga mimpinya indah ya, Mas Bumi".

ANSARAUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum