bab sepuluh

388 40 26
                                    

Hidup itu ada-ada saja. Sambil bersedekap dan bersandar di ambang pintu dapur, aku menatap Sean Tarendra, salah satu koki paling ternama di Indonesia yang restorannya selalu penuh dan harga makanannya tidak ngotak, sedang mempersiapkan potongan paha ayam di dapur rumahku.

"Kok lo bisa kenal Sean Tarendra?"

Aku menoleh secepat kilat pada Kiara yang berdiri di sebelahku dengan senyum menggoda. Kiara, sebagai penyuka cooking show sejati, langsung mengenali Sean begitu dia menginjakkan kaki ke dalam rumahku dengan berplastik-plastik bahan makanan. Wajar saja mereka punya seribu pertanyaan untukku, yang tidak bisa kujawab.

"Lewat Jakarta Dispatch," jawabku pendek.

Kiara manggut-manggut. "Dia lebih ganteng secara langsung daripada waktu di dalam TV."

"Iya," Aku mengaku, tidak tahu mau mengatakan apa lagi. Kulihat Sean mengangkat kepala sekilas dari pekerjaannya dan tersenyum simpul. Sial, dia pasang kuping.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku sambil berjalan mendekat. Sean Tarendra memang koki profesional papan atas – dia hanya menggunakan dua tangan tapi pekerjaannya cepat, tepat, dan rapi. Tapi tetap saja, satu orang memasak untuk empat puluh orang tidak mungkin mudah, kan?

"Sandwich aja, yang paling gampang," katanya menunjuk. "Ham sama keju buat yang asin, selai nutella buat yang manis. Nanti dipotong bentuk segitiga. Bisa kan?"

Sesaat setelah itu, kami berdua sibuk sendiri. Aku mempersiapkan sandwich dua rasa untuk anak-anak sementara Sean membuat ayam goreng dan french fries. Kiara beberapa kali bolak-balik untuk mengeluarkan makanan yang sudah kami pindahkan ke nampan. Semuanya berjalan lancar.

"Kue ulang tahunnya ada?" tanya Sean setelah selesai dengan main course sambil mengelap kedua tangannya dengan lap dapur.

Aku menganggukkan kepala sambil menarik lengan bajuku sampai ke siku. "Ada, tapi seharusnya tetap ada makanan penutup buat mereka. Kamu mau bikin apa?" tanyaku sementara Sean mengeluarkan mixer dari dalam kabinet.

"Well, aku sebenarnya punya ide," celetuknya tiba-tiba.

***

"Permisi, permisi." Aku berjalan melewati celah-celah yang dibentuk oleh susunan duduk anak berumur lima tahun yang tidak rapi. Begitu sampai di depan, aku mengambil mic dari tangan host acara dan tersenyum cerah, "Halo semuanya, gimana perasaannya? Happy?"

Suara sekitar 40 orang anak berteriak menjawabku, "Yeeeees!"

Aku tersenyum lebar. "Wonderful. Karena kita punya tamu spesial hari ini."

Ruangan itu cepat dipenuhi dengan desas-desus bernada tinggi yang khas dengan anak-anak bersemangat. Aku cepat-cepat menengahi, "Okay, now. Jangan terlalu semangat dulu. Tenang dulu, semuanya. Coba sekarang, apakah ada yang bisa nebak kita mau ngapain? Tadi udah makan siang kan?"

Anak-anak itu berkoor lagi, "Udaaaaaah."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Kurang apa?"

"Games!"

"Mr. Clown!"

"Kue ulang tahun!"

"Dessert!"

Seruan-seruan mereka simpang siur dengan satu sama lain. Aku dengan cepat menenangkan mereka, "Okay, now, now. Tenang dulu. Gimana kalau kita langsung sambut aja tamu spesialnya hari ini?"

Mereka berkoor setuju. Aku tersenyum dan membentuk corong di sekitar mulutku. "Mr. Chef, you can come out now."

Kepala anak-anak itu menoleh bukan karena ingin melihat siapa tamu spesialnya, tapi juga karena aroma kue yang mengisi seluruh ruangan. Mereka mulai ricuh melihat Sean yang membawa seloyang cupcake polos dan frosting dengan berbagai macam warna dalam piping bag.

Table For TwoWhere stories live. Discover now