bab sembilan

242 34 17
                                    


Kubikel Madi aromanya selalu seperti kayu manis dan vanili. Mungkin itu berasal dari berbagai macam lilin aromatik yang berjejer di atas mejanya, di sebelah bingkai foto anak laki-lakinya yang baru berusia tujuh bulan. Ada beberapa bungkus kue kering yang diselipkan di sudut meja dan termos yang selalu berisi teh hangat.

Semua yang kuperlukan untuk betah duduk berjam-jam meriset tentang Sean Tarendra.

Sejauh ini, yang kudapatkan lumayan banyak. Almarhum ayah Sean adalah seorang aktor layar kecil yang tidak terkenal, kebanyakan peran yang dia mainkan hanya pemeran-pemeran kecil tanpa nama. Kebakaran rumah Tarendra terjadi pukul tiga sore, asalnya dari ledakan gas di kompor dan diperparah oleh kabinet alkohol simpanan ayahnya yang dengan cepat membuat api menyebar. Sean dan ibunya keluar dari rumah itu sebelum dilahap api. Sean tidak terluka, tapi ibunya terluka di tangan dan kaki serta beberapa goresan di kepala. Ayahnya sepertinya sedang berada di kamar mandi waktu kejadian itu, menghirup karbon monoksida hasil pembakaran, pingsan dan akhirnya meninggal.

Ada banyak kejanggalan dari isi surat kabar yang tidak bisa kujelaskan. Mengapa ayahnya tidak keluar dari rumah itu ketika anak dan istrinya keluar? Mengapa ibu Sean tidak mencari suaminya? Mengapa Sean sendiri tidak mencari ayahnya? Sayangnya ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Pertama, berita pada zaman itu tidak berbasis digital sehingga aku hanya bisa mendapatkan satu artikel yang dipublikasikan ulang di portal web. Kedua, aku tidak bisa bergantung hanya pada satu artikel itu untuk mendapatkan informasi lengkapnya.

Aku hanya punya dua pilihan sebenarnya. Mewawancarai Sean, atau mewawancarai kakeknya. Bukan dua pilihan yang menarik.

"Are you done?" Madi bersandar di kubikelnya sambil menuangkan teh ke dalam gelas dari termosnya. "Nyari apa rupanya? Perlu gue bantu gak?"

"Background research," jawabku pendek sambil berdiri. "Ga penting kok, sebenarnya."

Madi mengambil tempat dudukku semula sambil mengesap tehnya. "Kenapa rupanya?"

"Ingat artikel akhir tahun gue? Indonesia's Greatest?" Aku menjatuhkan diri di atas beanbag-nya yang berwarna biru. "Gue masih belum punya brief buat Sean Tarendra. I don't know what to write about him."

"Tumben." Madi menyeletuk. "Biasanya lo selalu punya ide."

"Ini pertama kalinya gue diminta untuk nulis tentang satu orang. Satu orang aja. Semi-biografi, lagi." Aku menghela napas. "Ga boleh terlalu membosankan. Tapi emang apa yang menarik? Apa yang bisa gue tanyain ke orang kaya dia?"

"Menurut lo? Bukannya lo udah pernah ketemu sama dia?"

Aku mengangguk tapi lalu menggeleng. "Masih nggak tahu. Kamis depan gue udah harus interview. I still don't know what to write."

"Well," Madi menggeser laptopnya yang menampilkan foto Sean Tarendra. "Setidaknya kalo lo harus ketemu dia lebih dari satu kali, wajahnya enak dilihat."

Dia tidak salah.

"Not wrong," komentarku sambil menyengir. Madi tertawa dan memukul kakiku yang bersila di atas satu sama lain. "Ganteng dan bisa masak. Paket lengkap. Kalau gue belum nikah, mungkin bakal gue kejar."

Kalau dipikir-pikir ada benarnya. Aku teringat kembali dengan pembicaraanku dengan Nicole di Paradiso tempo hari. Kami mengobrol jauh lebih banyak dari yang kukira, bahkan sampai memesan anggur merah di siang bolong.

"Terus kita harus nunggu sampai Gelora clear area dulu baru kita berdua bisa cabut. Ini posisinya kita berdua belum sempat makan dari pagi. Sean sampai harus makan obat maag supaya nggak kolaps." Nicole tertawa dan meneguk isi gelasnya. "Sedih ga sih? It was our date night and all. Jam dua pagi Gelora baru sepenuhnya kosong, reservasi kita udah kelewatan. Jam enam pagi kita udah harus masuk lagi."

Table For TwoWhere stories live. Discover now