bab delapan

218 38 12
                                    


Mikha menempelkan botol air mineral dingin ke pipiku, dan aku berteriak sementara dia tertawa. "Rese lo!" pekikku sambil menjauh satu langkah darinya.

"Stop melamun," sindir Adhi yang bersedekap di sebelahku. Aku mendengus sambil mengarahkan pandanganku kembali pada nomor yang terus berubah-ubah di bagian atas kanan pintu lift.

"Tumben nervous, Shar?" tanya Mikha sambil mengangkat peralatan kameranya.

Sebenarnya aku tidak gugup sama sekali. Alderey Malikha adalah seorang aktor go-international yang belakangan ini terkena kontroversi pelecehan seksual dan memilih Jakarta Dispatch sebagai media utama untuk membersihkan nama baiknya. Dia hanya seleb mesum biasa. Tidak ada yang istimewa.

Hanya saja berada di dalam lift membuatku mau tidak mau teringat kembali akan kejadian semalam. Archie yang mendorongku sampai ke dinding, bibirnya yang mencium bibirku, tangannya yang berkelana– nah. Sekarang pikiranku yang berkelana.

Aku menghela napas.

"Lo yang mulai kan nanti?" tanya Adhi. "Don't mess up."

Emang pernah? Aku sedang tidak mood meladeni Adhi dan sindiran-sindiran halusnya, jadi aku mengangguk saja. Adhi dan Mikha sepertinya sama-sama kaget dengan aku yang hari ini tidak sebatu biasanya, jadi kami bertiga sampai ke lantai seratus dua dalam keheningan dengan mereka berdua yang menatap satu sama lain bergantian sambil bertanya-tanya.

Aku dan Adhi bersiap untuk melakukan interview Rey Malikha di ruangan agensinya. Dari pertama kali kami bertemu, aku sudah merasa interview ini tidak akan menghasilkan artikel pembelaan yang membersihkan nama baik, tapi malah akan semakin mencorengnya.

Rey Malikha menjabat tanganku selama lebih dari sepuluh detik, memasang senyum mesum, lalu dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki dalam setelan jas krem dan rok pensil senada yang ketat dan mencetak bentuk badan. Great. Really great. Aku memutar bola mata dalam hati sebelum memasang senyum masam. Tuhan, semoga ini segera berakhir.

Aku memulai interview dengan Adhi yang kebanyakan notulensi. Tapi melihat balasan Rey Malikha yang kebanyakan di antara tidak serius atau berupa upaya untuk menggodaku, kami terpaksa mengubah taktik dan aku digusur keluar dari dalam ruangan. Padahal bukan salahku aku bukan laki-laki berperut maju seperti Adhi.

Rey Malikha jelas-jelas terlihat kecewa waktu aku keluar, tapi itu bukan berarti dia tidak mencari kesempatan dan menonton bokongku kala aku berjalan keluar dari ruangan. Mikha terlihat sudah mau melempar lensa kamera ke kepalanya, tapi mungkin diurungkan karena benda itu mahal dan aset perusahaan.

Teleponku berbunyi dari dalam saku tepat ketika aku menutup pintu di belakang badanku, yang kuangkat sebelum menghela napas panjang. "Halo."

"Kok loyo?" Aku mendengar suara Sean Tarendra yang ringan menyapa telingaku.

"Long day," gumamku sambil mengintip kembali ke dalam ruangan interview lewat jendela kaca.

"Baru juga jam sebelas."

"Yeah, so?" Nadaku jengkel. "Hariku udah keburu panjang."

"What happened?" tanyanya dengan nada yang jauh lebih lembut.

"Aku harus nge-interview orang mesum," gerutuku.

"Siapa?" Suaranya mendadak tajam.

"Mana boleh kubilang," balasku dengan kening berkerut.

Kudengar Sean menghela napas dan suara kursinya bergeser. "Kamu dimana sekarang?"

Aku tidak menjawabnya. "Aku nggak sendiri kok, ada dua orang lain. Cowok."

Table For Twoजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें