bab dua

266 36 19
                                    


"Coffee?"

Aku menggelengkan kepala dengan mata masih menempel pada layar laptop. Adhi, salah satu journalist yang lebih senior kurang lebih dua tahun dariku, duduk di ujung meja sambil mengintip apa yang sedang aku research.

"Sean Tarendra?"

"Hm," Aku mengangguk saja dengan harapan Adhi akan cepat pergi, "Gue lagi research buat artikel food. Top 5 romantic restaurants in the Greater Jakarta Area."

"Sepenting itukah sampai lo mengorbankan jam makan siang?" tanyanya lagi.

"Nanggung."

Adhi selalu bisa mencium bau-bau story yang bagus, jadi aku tidak mau sampai ia sadar kalau aku tahu sesuatu yang mencengangkan. Setidaknya tidak sampai aku punya research yang cukup untuk bisa di-pitching ke editor kami, Ian.

Pria itu menyipitkan matanya curiga, tapi pada akhirnya bergegas pergi. Aku kembali fokus pada informasi di depan layar.

Sean Tarendra Nasution adalah celebrity chef, prodigi, penulis, pengusaha, co-owner Bliss Patisserie, dan owner restoran bintang empat Gelora yang berdarah Indonesia-Korea. Sean termasuk ke dalam daftar Forbes 30 under 30 dan menjadi 1st runner-up MasterChef Indonesia musim ketiga.

Berikut beberapa kalimat pertama dari entri Wikipedia Sean, pemilik Gelora Bar & Restaurant, yang ternyata merupakan kekasih bayangan Sintia Utari. For one thing, Sean Tarendra is definitely big in the cooking industry. Dia ganteng, muda, dan masih lajang – setidaknya menurut internet.

Sejauh ini Sean Tarendra punya record yang sebersih kertas putih. Tidak ada setitikpun jejak digital yang bisa mencoreng nama baiknya, kecuali informasi yang kupunya. Di mata dunia, Sean Tarendra is a pretty great guy.

Lahir dan dibesarkan di Jakarta, anak tunggal, mulai memasak dari umur tujuh tahun. Ibunya Na-yeon Song, dulunya merupakan penyanyi trot Korea sebelum pindah ke Indonesia. Tidak ada banyak informasi tentang ayahnya kecuali tentang kematiannya waktu Sean masih berumur tujuh tahun. Rumah mereka kebakaran, Sean dan ibunya berhasil kabur tepat waktu sementara ayahnya terkunci di dalam kamar mandi. Tragis.

"Shara."

Panggilan tiba-tiba itu membuatku mengangkat kepala secepat kilat. Ian, editorku, tiba-tiba sudah berdiri di depanku sambil berkacak pinggang.

"Kenapa, Yan?" Aku pelan-pelan menurunkan layar laptop.

"Lo dipanggil Mr. Terry di kantornya," celetuk Ian. "Lo ngelakuin apa? Any trouble?"

Aku menggeleng. "Engga kok?" sahutku heran.

Mr. Terry adalah direktur kami di departemen jurnalistik. Aku baru pernah melihatnya secara langsung sekitar dua kali di acara-acara perusahaan, dan dia tidak biasanya berinteraksi langsung dengan para jurnalis. Kebanyakan informasi dari beliau akan disampaikan melalui manajer utama, Bu Karin, atau kepala editor, Ian. Untuk tiba-tiba dipanggil seperti ini sangat tidak lazim, tapi aku tetap menurut dan pergi ke kantornya di lantai dua puluh tujuh.

"Siang pak," sapaku ketika masuk ke ruangannya.

"Oh iya, Shara." Mr. Terry berperawakan tinggi besar dengan wajah Asia dan kumis tebal serta rambut berwarna putih. Kacamata tanpa bingkai bertengger di ujung hidungnya, dan dia biasanya selalu datang ke kantor dalam kemeja batik. "Sini, duduk sebentar. Tidak mengganggu jadwal kamu kan?"

Aku menggelengkan kepala sopan dan mengambil tempat duduk di depannya. Kalau dipanggil Mr. Terry, aku yakin tidak akan ada orang yang akan mengaku kalau jadwal mereka terganggu.

Table For TwoWhere stories live. Discover now