Bangun

61 3 0
                                    

Pernahkah Raka berfikir kalau ia suatu saat ia akan merindukan putra bungsunya berbuat onar? Mencari pertengkaran lalu berakhir di kantor polisi, entah kenapa saat ini Raka merindukan moment itu. Raka tidak bisa melukiskan perasaannya sekarang, melihat putranya terbaring lemah  membangkitkan ingatannya saat pertama kali menggendong Raizel, terlihat kecil dan rapuh seakan jika ia menyentuhnya sedikit lebih keras anak itu akan terluka dan hancur.

" Azel belum bangun? "
Raka melemparkan pandangannya kepada putra sulungnya, Railo hanya menggeleng pelan. Keduanya kompak menghela nafas, sudah tiga hari semenjak Raizel terakhir kali bangun, sampai sekarang anak bungsunya masih tenggelam dalam mimpi tanpa tanda-tanda akan bangun.
Pekerjaan yang menumpuk di mejanya tidak membuat Raka semakin fokus, ia hanya semakin frustasi karena tidak bisa terus berada disamping Raizel, hanya Raihan dan istrinya beserta Arend yang tidak bergerak dari kamar rumah sakit Raizel, segala macam cara telah dicoba untuk membangunkan Raizel tapi tidak ada hal yang bisa membuatnya sadar, jika Raka tidak melihat dada Raizel naik-turun ia merasa anaknya seperti sudah mati.

" Haruskah kita mengirimnya kerumah sakit yang lebih baik? "
Raka menepis dokumen didepannya menatap Railo yang berada didekatnya, tangan Railo yang sibuk membuka lembaran dokumen berhenti bergerak.
" Lois mengatakan kalau Azel hanya demam! Dan aku percaya dia hanya demam! Adikku akan baik-baik saja!"
Railo menjawab pertanyaan ayahnya dengan tenang, tapi Raka bisa merasakan kalau suaranya bergetar, jawaban itu seakan ditujukan untuk Railo sendiri. Berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau adiknya akan baik-baik, tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi.
" Railo, pulanglah! Ayah yang akan menyelesaikan pekerjaanmu!"
Raka tidak tega melihat putra sulungnya terlihat linglung, Railo terlihat tenang dan fokus tapi fikirannya mengembara entah kemana, jelas dalam benaknya hanya ada Raizel sekarang.
" Tidak ayah, aku-"
Bantahan Railo terpotong oleh getaran handphone miliknya, nama Arend tercetak jelas disana.
" Tuan muda Raizel telah bangun tuan!"
Suara Arend penuh dengan kegembiraan, Railo juga langsung tersenyum tanpa peduli lagi dengan kehadiran ayahnya, ia langsung bergegas keluar dari kantor dan pergi kerumah sakit, meninggalkan sang ayah untuk membereskan pekerjaannya.

Vika tersenyum senang saat putra bungsunya membuka mata, walaupun belum ada kata yang keluar dari bibir Raizel, tapi tidak apa-apa asalkan anaknya bisa bangun dari tidurnya. Demam tinggi yang diderita Raizel selama lebih dari seminggu akhirnya berubah menjadi demam rendah, walaupun belum sepenuhnya sehat tapi keadaannya mulai membaik.

" Bagaimana kak? Azel sudah mulai membaikkan ? "
Raihan bertanya antusias, yang dibalas dengan anggukan kecil dari Lois.
" Raizel sudah mulai membaik, setelah ini sebaiknya dia makan bubur untuk mengisi tenaganya!"
Setelah berkonsultasi beberapa hal, Lois meninggalkan ruangan Raizel dan membiarkan keluarganya memberi makan Raizel.
" Azel, ibu sudah memasak bubur! Ayo makan dulu! "
Raizel tidak menanggapi, pandangannya kosong hanya menatap lurus kelangit-langit kamarnya, tapi Vika tidak putus asa.
" Raihan, bantu adikmu duduk! "
Raihan segera mengangguk, biasanya dia paling anti berdekatan dengan adiknya, hanya ada pertengkaran diantara mereka yang membuat rumah menjadi sangat berisik, tentu saja itu hanya pertengkaran kosong tanpa arti yang serius. Raihan menarik pelan tubuh Raizel, selembut mungkin berusaha menegakkan tubuh adiknya, walaupun punggung Raizel telah disangga oleh bantal tapi Raihan tidak berani melepaskan Raizel dan tetap menopang punggung Raizel dengan tangannya.

" Ayo nak, makan sedikit ya.."
Vika memberi suapan kecil kepada Raizel, disendok yang ketiga Raizel mulai batuk dan merasa mual, belajar dari pengalaman Raihan langsung mendekatkan tong sampah didepan Raizel. Bubur yang belum sempat dicernanya mulai keluar tanpa henti, Raihan menggosok punggung adiknya untuk meredakan perasaan mual.
" Masih ingin muntah? "
Raihan melontarkan pertanyaan tanpa berhenti mengusap punggung Raizel, Raizel hanya menggelengkan  kepalanya. Wajah pucat itu terlihat lelah, bibirnya pecah-pecah karena dehidrasi membuat Raizel terlihat lebih menyedihkan, Vika tidak lagi berani memberi makan Raizel hanya memberikan segelas air hangat untuk menghilangkan rasa mualnya.

" Aku mengantuk! "
Begitu kata-kata Raizel keluar, semua orang langsung merasa tegang.
" Jangan tidur lagi, kau baru saja bangun!" Suara Raihan penuh dengan penolakan.
" Azel, jangan tidur lagi yaa...Ibu takut kalau Azel tidur lagi!"
Air mata sudah menggenang dipelupuk mata Vika, kenangan buruk anaknya yang kejang sambil berlumuran darah tiga hari lalu terus berputar dibenaknya.
" Dua minggu yang lalu kau bilang ingin membeli mobil barukan? Aku akan membelikannya asalkan kau tidak tidur sekarang yaa "
Raihan berusaha membujuk tapi Raizel tidak menjawab, matanya terkulai seakan siap untuk kembali terpejam.
" Railo sedang diperjalanan, dia belum melihat Azel bangun! Tunggu sebentar sampai kakakmu datang ya nak! "
" Ibu..."
Raizel hanya memanggil ibunya dengan sedih air mata mengalir tanpa suara, semua orang merasa tertekan saat melihatnya.
Untung saja, Railo yang telah ditunggu-tunggu akhirnya sampai dengan penampilan berantakan keringat mengalir diwajahnya, Railo langsung bergegas menuju Raizel dan memeluk adik bungsunya menyingkirkan Raihan yang menopang punggung Raizel.
" Maaf, aku terlambat! Jangan menangis, kau membuatku sangat khawatir! "
Railo menghapus air mata Raizel, adiknya yang berumur 18 tahun ini semakin kurus, tubuhnya yang dulu atletis kehilangan berat badan dalam waktu singkat, seharusnya ia pergi bermain dan menikmati masa mudanya buka terbaring di ranjang rumah sakit.

" Jangan sakit lagi! Aku akan mengabulkan permintaanmu asalkan kau sembuh dan tetap sehat!"
"Benar, aku juga akan membelikanmu mobil baru setelah kau keluar dari rumah sakit! "
Raihan menimpali ucapan Railo.
" Kapan aku bisa pulang ? "
"Segera, kau akan segera pulang! "
Demam yang diderita Raizel sukses membuat semua orang ketakutan, untungnya setelah bangun keadaannya benar-benar mulai membaik, walaupun semua makanan terus dimuntahkan kembali dan mimisan terkadang masih terjadi, setidaknya Raizel tidak terbaring tidak sadarkan diri.

Setelah seminggu Raizel bangun dan dirawat dirumah sakit, Lois mengizinkan Raizel untuk keluar dari rumah sakit, dengan catatan perawatan Raizel secara rinci tidak ada yang berani menganggap enteng dan mendengarkan dengan seksama setiap larangan dari Lois.
Arend mendorong kursi roda Raizel dengan semangat, ruangan rumah sakit yang menyesakkan itu akhirnya ditinggalkan, semua orang keluar dengan wajah penuh syukur hanya Raizel yang tetap memasang wajah datar dengan pandangan kosong, semenjak sakit Raizel terlihat sangat pendiam ia hanya mengeluarkan kata-kata singkat lalu melamun kembali, tak jarang seseorang harus mengguncang bahunya untuk membangunkan Raizel dari lamunannya.
" Tuan muda, apakah anda senang akhirnya keluar dari rumah sakit? "
Raizel hanya diam tidak menanggapi celoteh Arend, keluarganya hanya memaklumi kurangnya respon dari Raizel menganggap kalau anak bungsunya terlalu lelah untuk berbicara, bagi mereka seakan badai besar baru saja berlalu tanpa mereka ketahui kalau ini adalah awal dari badai yang sebenarnya, hancurnya putra bungsu mereka.
" Bajingan kecil, jangan hanya diam! Berbicaralah sesuatu! "
Raihan kembali kekebiasaannya, bajingan kecil dan bocah sialan adalah panggilan Raihan kepada Raizel. Jika Railo adalah tipe kakak yang dingin dan acuh tak acuh, maka Raihan adalah pembuat onar besar yang suka mencari masalah, tentu saja jika bertemu Raizel yang keras kepala dan sangat sensitif hanya akan ada pertengkaran yang muncul. Tapi Raizel tidak menanggapi olokan Raihan dan tetap diam.

" Ibu, apa kita benar-benar bisa membawa Azel pulang? Sudah seminggu sejak dia bangun, tapi aku bahkan bisa menghitung berapa kata yang dikeluarkannya?"
Raihan bertanya khawatir.
" Raizel hanya lelah menanggapimu, berhenti mengganggu adikmu!"
Vika mencubit pelan pinggang Raihan, membuat putra keduanya mengeluh kesakitan.
Railo yang secara langsung menggendong Raizel memasuki mobil, biasanya tugas seperti ini jatuh kepada Luca sebagai tangan kanannya tapi Railo ingin mengurus sendiri Raizel, ia tidak bisa menahan kerutan didahinya saat merasakan berat badan adiknya yang sangat ringan, berjanji pada dirinya sendiri kalau ia akan membuat Raizel mendapatkan kembali tubuh atletisnya.

" Azel, banyak temanmu sudah menunggu dirumah! Tidakkah kau senang bisa bertemu mereka? "
Tidak ada yang menjawab, seolah sudah terbiasa Railo terus melanjutkan obrolan sepihaknya.
Raizel hanya ingin tidur, puluhan kehidupan yang dijalaninya membuatnya lelah, semuanya terasa menyakitkan, kenangan-kenangan itu seakan ingin merobek kepalanya, tidur tidak akan membuatnya sakit, tidur membuatnya melupakan segalanya.
" Kak, aku ingin tidur..!"
" Kau pasti lelah, tidurlah! Aku akan membangunkanmu saat sampai dirumah!"

Raizel memejamkan matanya, putaran keberapa kali ini? 137? Kapan time loop ini berakhir? Apakah ini yang terakhir atau dirinya masih akan menjalani putaran selanjutnya?

TIME LOOPWhere stories live. Discover now