Pahit

37 5 0
                                    

Raka duduk diam diruang tamu, fikirannya mengembara jauh kepada anak bungsunya, segera setelah ia mendapat kabar dari Raihan tentang kondisi Raizel, Raka bergegas pulang kerumah bersama Railo pekerjaan yang menumpuk ditinggalkan begitu saja. Untung saja Vika tidak berada dirumah karena menghadiri acara sosial yang diadakan temannya, Raka tidak ingin menambah kekhawatiran istrinya sehingga kabar Raizel tidak sampai ketelinga Vika.

Raka tidak pernah takut atau bingung dalam hidupnya, bahkan saat ia harus membuat keputusan besar dan dilanda berbagai masalah tidak pernah membuatnya bingung ataupun takut. Tapi semenjak dua bulan terakhir perasaan takut terus mneggerogoti hatinya, takut kehilangan putra bungsunya, takut tidak bisa melihat lagi senyuman cerah Raizel. Ia merasa bingung bagaimana ia harus menyikapi perubahan ini, bagaimana ia harus beradaptasi dengan putra bungsunya yang seakan ingin menjauh dari kehidupan.

" Ayah haruskah kita membawa Raizel ke psikolog? "
Railo memecah keheningan.
" Bawa dia, cari psikolog terbaik! "

Mereka berfikir setelah Raizel kembali sehat, putra bungsu Raka akan kembali normal bermain dan bersenang-senang dengan temannya, atau memulai pertengkaran penuh omong kosong dengan Raihan, tapi hari demi hari berlalu kebaradaan Raizel seakan menipis, seolah berusaha menyembunyikan dirinya dari dunia.

Derap langkah kaki bergema, Raihan bersama sekelompok anak muda memasuki rumah mewah itu dengan wajah muram, Raizel tertidur damai di punggung Raihan.

" Berikan Azel padaku! "
Raihan memindahkan Raizel kegendongan kakaknya, lalu Railo membawa adiknya kedalam kamar tidak ingin mengganggu tidur nyenyak Raizel.

" Apa yang terjadi, Kantares? "
Kehadiran Raka seakan mengintimidasi mereka, tapi Kantares tau bahwa ia harus menjawab pertanyaan Raka karena ini menyangkut teman baiknya.

" Kami mengajak Raizel bermain bersama, tapi dia hanya minum tanpa berbicara apapun! Saat kami mencoba menghentikannya, Raizel berkata omong kosong yang membuat kami takut, dia-"

Kantares terdiam sejenak, tak sanggup melanjutkan ucapannya.

" Apa yang dikatakannya? "
Nada Raka mendesak terus menekan Kantares.

" Dia- dia bilang ingin mati! "
Tekanan udara dirumah itu seakan langsung menurun, seakan oksigen mulai menghilang membuat semua orang merasa sesak. Setelah hening beberapa detik, Raka menghela nafas dan beranjak dari sofa.

" Pulanglah! "
Raka menaiki tangga tampa melirik kembali teman-teman Raizel, kepalanya seakan dipenuhi oleh anak bungsunya, langkahnya tanpa sadar dipercepat seolah ingin berlari. Padahal jarak antara ruang tamu dengan kamar Raizel tidak terlalu jauh tapi nafas Raka terengah-engah seakan maraton berjam-jam.

Railo menutupi adiknya dengan selimut memastikan Raizel tidak merasa kedinginan, sampai suara dobrakan pintu mengejutkannya. Raka mendekati ranjang Raizel tanpa suara mengusap helaian rambutnya dengan lembut.

" Apa yang membuatmu berakhir seperti ini, Azel? "
Railo melihat tangan ayahnya bergetar saat mengusap rambut Raizel, suaranya penuh kelembutan seolah membujuk seorang anak kecil, berbisik pelan berusaha untuk tidak mengganggu tidur Raizel, sudah lama sekali Railo tidak pernah melihat ayahnya kehilangan ketenangannya seperti ini.

" Ayah, Azel akan baik-baik saja!" Railo berusaha menghibur Raka dan dirinya sendiri.

"Pasti ada alasan kenapa Azel seperti ini! Kau sudah memeriksanya? "
Tatapan Raka tidak beralih dari wajah damai Raizel.

" Aku sudah memeriksanya, tidak ada sesuatu yang aneh! "
Railo menundukkan kepalanya, merasa kesal dengan dirinya sendiri.

" Kau benar-benar memeriksanya dengan teliti? Tidak ada yang mengancam atau menyinggung Azel? Bagaimana dengan masalah wanita, tidakkah Azel punya pacar? "

TIME LOOPWhere stories live. Discover now