[1] Manusia-Manusia Ganteng!

Mulai dari awal
                                    

"Ummi!!!" Afnan menghambur kepelukan ibunya. Huwaidah.

Yang mendapat pelukan tiba-tiba hanya terkekeh pelan. Ia mengusap pelan punggung putra bungsunya hangat, sarat akan rindu.

"Isrul makin gede aja..." Waida melepas pelukannya. "Makin ganteng juga."

Mendapat pujian lagi, Afnan mengulum senyum menahan cengiran. Ia berbalik menatap Azlan yang terdiam sejak tadi.

"Nuzul," Afnan melambai-lambaikan tangannya, intruksi memanggil kakaknya mendekat. "Sini!"

Kemudian barulah Azlan mendekat. Ia menatap takut-takut kearah ayahnya yang sejak tadi menatapnya intens.

"Abi..." Azlan memanggil.

Atharauf Marwan, tersenyum hangat.

"Kenapa, nak?"

Eh?!

"Abi nggak marah?" tanya Azlan cepat, menunggu jawaban sekarang juga.

Wais dan Fyan duduk anteng di sofa ruang tamu menonton serial kartun Pororo, tidak begitu tertarik dengan pembicaraan orang dewasa.

Marwan terdiam cukup lama, sedangkan Afnan dan Waida memilih diam menyimak saja.

Afnan tahu pasti maksud pertanyaan kakaknya, mereka berdua memutuskan berhenti mondok —setelah 2 tahun lebih bertahan— secara sepihak tanpa memikirkan kemungkinan ayahnya akan marah besar. Tetap saja, pesantren itu bagaikan penjara narapidana berkedok penjara suci yang mengurung mereka bahkan tak urung main tangan ketika Azlan dan Afnan tidak menyetor hafalan satu halaman dalam satu hari. Sampai keduanya lelah sendiri dan akhirnya berhenti.

"Sholat tidak pernah ketinggalan 'kan?" bukannya menjawab, Marwan justru bertanya.

Dua saudara itu mengangguk cepat tanpa ragu. Dan Marwan manggut-manggut mengerti.

"Tidak apa-apa, abi tidak marah." Ungkap Marwan membuat Azlan dan Afnan menghela nafas lega.

"Intinya, jangan pernah tinggalkan shalat." Pesannya kemudian mendekat dan mengusap pucuk kepala keduanya bersamaan. Setelah itu Marwan berlalu pergi berniat ke kamar. Meninggalkan kelima orang diruang tamu.

Afnan menyengir kuda, ia mengangkat tangan yang terkepal tinggi-tinggi.

"Yess, kita nggak kena marah."

Waida hanya menggeleng tak habis pikir. Ia memilih menyusul suaminya ke kamar. Membiarkan keempat laki-laki beda usia itu menghabiskan waktu bersama.

Karena suasana hati Azlan sedang baik, ia berlari seperti posisi lari naruto kearah dua sepupunya yang sedang anteng-antengnya menonton serial TV. Afnan menyusul dengan gaya sok keren.

"Abang!!"

Wais memekik kesal ketika Azlan tanpa izin mengambil dan mengunyah cemilannya, padahal 'kan cemilannya tinggal sedikit. Itu yang paling favorit, Azlan kamprett!

"Apa'an?" tanya Azlan dengan wajah lempeng minta di timpuk kain kafan.

"Kalau mau ambil makanan orang itu izin dulu, manusia biadab!"

Azlan melongo, "heh! Mulutnya!"

"Udah, udah. Cemilan doang ditengkarin. Dewasa dikit dong..." Afnan membaringkan diri disofa dengan santai.

"Ucap si paling bocil," sindir Fyan membuat Azlan dan Wais tertawa, sedangkan Afnan mendelik sinis.

Afnan merampas remote TV dengan cekatan, ia mengganti serial tontonan dengan wajah pongah. Sampai berhenti di serial kartun Shiva.

Surat Takdir Dari Tuhan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang