Ghea berusaha menahan tangis menyadari putranya yang terlihat begitu ingin melindunginya dan Gisa. Ada rasa haru dan bangga yang menyelimuti dadanya, tapi Ghea juga tak ingin membiarkan cara Raka mengabaikan Rafis. Sekalipun hubungannya dengan Rafis sudah berantakan, Ghea tak pernah berharap anak-anaknya membenci laki-laki itu. "Pamit dulu sama Papa, ya," ujarnya sambil mengelus rambut hitam sang putra, lalu menoleh menatap Rafis sekilas. "Kami berangkat dulu ya, Pa."

Sudah, hanya begitu. Rafis baru sadar ada perasaan nyeri yang tertancap di dadanya mendapati Ghea bahkan tak mau repot-repot menatap matanya dengan lama.

"Kami berangkat dulu ya, Papa. Dadah!!"

Rafis berusaha menahan senyum getir saat melihat putri kecilnya begitu riang berpamitan sambil melambaikan tangan, berbanding terbalik dengan putranya yang hanya menyalam tangan kanannya, lalu pergi begitu saja diikuti sang adik yang meminta turun dari gendongan untuk menyusul sang kakak. "Kalian mau berenang di mana? Aku antar aja."

"Nggak usah. Nanti mau banyak mampir soalnya," tolak Ghea cepat, sambil kembali melangkah menyusul kedua anaknya yang sudah duduk di mobil.

Ghea sama sekali tak berniat berbasa-basi dengan Rafis—walau ia sadar beberapa hari terakhir ini merasa jika laki-laki yang masih menjadi suaminya itu mulai berusaha untuk membangun percakapan di antara mereka. Tapi masalahnya, untuk apa? Ghea sudah terbiasa dengan hubungan dingin mereka selama beberapa bulan terakhir—terutama semakin dingin sejak Rafis unjuk gigi menarik semua kartu pemberian laki-laki itu. Bukan Ghea tak terima, hanya saja Ghea merasa sakit hati karena Rafis begitu sombong pada dirinya—yang sudah membersamai laki-laki itu selama bertahun-tahun.

Pada akhirnya, Rafis hanya mampu terdiam memperhatikan mobil Ghea yang berlalu di mana sebelum menghilang memperlihatkan putri lucunya melambai-lambaikan tangan dengan riang padanya. Setelah mobil Ghea benar-benar menghilang, Rafis tergugu. Tangannya mengusap kasar wajahnya dengan perasaan sesak.

Rafis sadar jika hubungannya dengan Ghea semakin tak terarah. Mereka bahkan bisa tidak saling berbicara dalam satu hari. Awalnya Rafis berusaha abai karena egonya sebagai pria tentu tak menerima sikap Ghea yang terkesan angkuh setelah memutuskan kembali bekerja. Ghea memang tetap menyiapkan sarapan untuk mereka, bahkan tak lupa dengan bekal bagi kedua anak mereka—tapi Rafis tetap merasa Ghea tak lagi menghargainya sebagai kepala keluarga.

Dan semua pemikiran itu membuatnya merasa memiliki alasan untuk hidup sesukanya. Rafis tak pernah lagi pulang di bawah jam sembilan malam. Pagi harinya, Rafis hanya sarapan kecil, mengecup pipi kedua anaknya, lalu berangkat ke kantor. Terus begitu, sampai Rafis justru merasa aneh sendiri karena Ghea sama sekali tak pernah menegurnya. Ghea seolah menepati kalimat perempuan itu soal mereka yang tidak perlu lagi mencampuri urusan masing-masing. Rafis yang memang sedang di puncak emosi, pagi itu langsung mengiyakan saja. Tapi beberapa hari terakhir ini Rafis justru merasa seperti ada yang hilang.

Itu sebabnya, beberapa kali Rafis berusaha membangun percakapan dengan Ghea, sayangnya ia tak mendapatkan respon yang cukup baik. Ghea memang selalu ada bersamanya di rumah ini, tapi Rafis merasa begitu jauh dengan perempuan yang masih menjadi istrinya itu. Untuk kali pertama setelah kesibukannya pada pekerjaan dan dunianya sendiri, Rafis merasa bersalah. Ketika melihat Ghea yang harus bangun sangat pagi untuk menyiapkan sarapan demi agar tidak terlambat ke kantor, Rafis merasa begitu buruk. Egonya yang begitu tinggi beberapa waktu lalu, seolah perlahan meluap berganti rasa bersalah.

Hari ini rencananya Rafis berniat mengajak keluarganya pergi keluar. Pagi tadi Rafis sudah mengurung diri di ruang kerjanya hanya untuk merenungi apa-apa saja yang akan dilakukannya agar bisa mulai membenahi yang rasanya sudah berantakan. Sayangnya, rencananya tak berjalan mulus. Dan sekarang, Rafis justru dilanda pedih.

Our StoriesWhere stories live. Discover now