Chapter 3 : Aku juga bisa merasakan sakit

3 0 0
                                    

Hari itu adalah hari yang berangin, cuaca sebelum datangnya musim hujan, awan mendung yang gelap menyelimuti cakrawala, daun-daun yang gugur terbang jauh dari pohonnya.

Bau anyir darah dan bau busuk mayat bisa tercium dari jarak bermeter-meter, area itu ramai oleh suara burung-burung yang datang untuk memakan bangkai.

Tepat saat lonceng berbunyi, hujan datang menyirami bumi. Air mata dewa terus turun dengan deras, menciptakan sungai-sungai kecil yang membawa darah dari gundukan mayat.

Aroma dari tanah kering yang pertama kali tersentuh air juga tercium samar-samar.

Di antara lautan jasad manusia itu, berdiri seorang laki-laki muda berambut putih. Dia tinggi dan sedikit besar, armornya tebal, terdapat ornamen kepala naga di kedua pundaknya, dan jubah merah menggantung di belakangnya. Rambutnya yang panjang tergerai, basah oleh air hujan.

Dia membiarkan wajahnya dialiri cairan bening yang jatuh dari langit, pundaknya naik turun seiring dengan tarikan napasnya, tangan kanannya memegang gagang pedang dengan erat. Pedang itu seputih dan sedingin pemiliknya, hujan telah membasuh darah dari bilahnya. Sesaat kemudian, dia tertawa.

Tertawa seperti orang gila, tertawa tanpa rasa bahagia.

"Kenapa bajingan-bajingan ini sangat keras kepala? Kalian tidak perlu berakhir seperti ini jika kalian mau mendengarkanku! Manusia-manusia bodoh, kalian bilang kalian masih memiliki belas kasih? Apa itu belas kasih? Yang kalian lakukan hanya berteriak dan menginginkan kematianku."

Suara burung gagak menggema di udara, langkah kaki dan gesekan dari armor besi di belakangnya semakin terdengar jelas. Pria yang mengenakan armor dengan jubah abu-abu itu terlihat sangat mengkhawatirkannya. Dia sudah siap untuk bertarung, membawa pedang yang besar dan panjang di tangannya.

"Terimakasih, Tuhan. Hayyan, syukurlah kamu tidak kehilangan anggota badan apa pun," orang itu melihat sekitar, pemandangan yang mengerikan dan busuk, dia berkomentar dengan marah, "Mereka benar-benar keterlaluan! Kami sudah memblokir pasukan Maria Allen di dekat gunung Shkhara. Pasukan kita menang, jenderal mereka menyerahkan diri. Apa yang akan kamu lakukan padanya?"

Hayyan membalikkan badannya, tidak tahu apakah matanya merah karena marah, atau karena dia menangis. Jejaknya tidak terlihat karena tersapu air hujan, dia tidak memiliki ekspresi apa-apa di wajahnya.

"Aku akan membunuh semua keturunan Maria Allen, aku tidak akan menyisakan satu pun dari mereka. Klan Allen harus musnah dari muka bumi."

Maximillian bertanya sekali lagi untuk memastikannya, "Apakah kamu tidak akan mengampuni bibimu, Hayyan?"

Suara Hayyan tegas, tidak ada keraguan, seolah dia benar-benar tidak memiliki sedikit pun belas kasih dalam hatinya. "Bibi macam apa yang ingin membunuh keponakannya sendiri? Bahkan jika aku tidak dilahirkan dari rahim ibuku, aku tetaplah putra kakaknya. Manusia yang serakah dan ingin merebut tahta seperti dia tidak pantas untuk diberi pengampunan."

Maximillian terdiam, Hayyan benar. Maria Allen sangat ingin menyingkirkan Hayyan agar dia bisa naik tahta. Sejak awal, wanita itu memang tidak pernah setuju pada keputusan kakaknya untuk menjadikan Hayyan sebagai penerus tahta.

Anak iblis seperti dia mana bisa memimpin kerajaan ini. Itu adalah kata-kata yang diucapkan Maria Allen ketika dia memutuskan untuk memberontak.

Dan akibatnya adalah terjadi perang saudara. Hayyan bukan hanya memerangi musuhnya, dia juga memerangi keluarganya sendiri.

Pada saat hampir semua orang memihak pada bibinya, Maximillian adalah satu-satunya orang yang bersedia untuk berdiri bersamanya.

Mercury Of UsWhere stories live. Discover now