40. Jangan Pergi Lagi

5.2K 809 121
                                    

Hai, apa kabar? 🥳

Tiba di penghujung part. Kok, rasanya bahagia tapi sedih karena udah tamat. 😭 Kita bakal ninggalin lapak Mas dan Mbak yang kata Ndoro Agung telat puber. 😭

Tunjuk jari yang perasaannya sama kayak aku. Antara seneng udah tamat, tapi nggak rela mau beranjak dari kegemesan mereka.  😭

Vote jangan lupa. Happy reading! 😭

====🏖🏖🏖====

====🏖🏖🏖====

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

====🏖🏖🏖====


"Jangan mentang-mentang yang punya gedung Nyonya Sanjaya, terus kita sebagai investor terbesar harus ngalah. Kita bisa aja bikin biro itu pindah kantor kalau memang dia berani macem-macem dan bawel." Laki-laki itu berkata sedikit keras melalui telepon.

Ia baru saja sampai kembali di kota Jogja. Mobil masih berjalan lambat. Sesekali Mamat yang menjemputnya mengoceh dengan keluhan lampu merah yang detiknya terlampau lama.

"Kamu juga kenapa nggak kasih kabar aku kalau Nyonya Sanjaya sama Mbak Nunung nyerang Risa tadi pagi? Malah cerita ke Papa," rutuk Tama kesal.

"Oh, iya, sorry. Aku sibuk ngeladenin aksi protes Nyonya Sanjaya sama Mbak Nunung, Mas. Sampai rapat dadakan tadi tuh. Mau bilang ke kamu malah lupa. Kamu udah landing dari pesawat?" Suara kecil Siska terdengar dari seberang telepon.

"Kalau masih di pesawat mana bisa aku telponan gini!" Tama mendengkus jengkel.

"Aduh, iya, Mas. Ngambek mulu dari tadi. Aku yakin Mbak Risa nggak papa."

"Nggak papa, nggak papa. Entar kalau dia pergi lagi dan aku susah lagi nyarinya, kamu yang harus tanggung jawab! Ngerti?!"

"Iya, Mas, iya. Aku yakin, kok, rencanaku sama Pita berhasil menyatukan kalian kembali." Siska terkikik pelan.

"Ooh, jadi kamu juga ikut-ikutan sama rencana Pita?! Sialan!"

Siska belum menyahut saat Tama dengan geram mematikan sambungan secara sepihak. Laki-laki berkaus polo itu melempar ponsel pintarnya ke bangku penumpang di sisinya. Benda pipih itu terpental, jatuh ke karpet di bawah kaki Tama. Suara ponsel jatuh itu otomatis mengejutkan Mamat yang tengah membelokkan setir mobil.

Tama gusar. Ia memijit pangkal hidungnya lalu menyandarkan kepala ke sandaran kursi seraya menengadah. "Kamu liat keributan tadi pagi di kantin, Mat?" tanyanya usai menghela dan mengembuskan napas panjang.

Mamat menoleh ke belakang sejenak. "Nggak, sih, Pak. Bapak sama Ibu yang liat. Katanya Mbak Risa sempat mau nangis gitu terus cepat-cepat pulang."

"Dibilang apa sampai begitu jadinya?"

"Nganu, Mas, Desi sama Mbak Nunung bilang–maaf–Mbak Cha jual diri ke Pak Tama. Sama … ada yang nambah-nambahin cerita kalau Mbak Cha–maaf–suka godain Pak Tama di kantor."

SuddenlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang