34. Kabar Buruk dan Penyesalan

3.6K 748 61
                                    

Halo, selamat malam Minggu! 🤗

Aku publish meski nggak dapat 100 komentar kemarin. Udah buru-buru pengen cerita ini tamat soalnya. 😌

Jangan lupa vote dan komen "next" juga nggak papa. 🤭

Happy reading. 🥳

====🏖🏖🏖====

Kamar itu berantakan. Ujung selimut terjulur hingga lantai. Pakaian berceceran di tepi wastafel. Jangan lupa dengan kimono tidur berbahan licin yang mungkin dua atau tiga kali berpindah tempat, dan berakhir di dekat kaki ranjang.

Pucuk Merapi di luar sana masih berselimut kabut pagi. Terasa dingin menggigit meski hanya dengan sekilas tatap. Namun, laki-laki itu menjadi orang pertama yang terbangun, pergi mengguyur badan dengan kucuran air hangat dari shower, dan mengalah memunguti pakaian-pakaian mereka ke dalam keranjang. Penghuni perempuan di apartemennya bisa berubah galak dan mudah jengkel kalau benda-benda keramat miliknya tercecer di tempat yang salah. Seperti si Ungu Tua yang Tama temukan di sela-sela nakas dan tempat tidur misalnya.

Tama tersenyum tipis memungut kain berbahan lace itu dan menumpuknya dengan setumpuk pakaian kotor lain di keranjang. Ia kembali ke ranjang, membuat alas tidur itu melesak lebih dalam, dan membuat penghuninya menggeliat sebentar.

"Sa, aku ada janji ketemu sama kliennya Dimas. Berangkat satu jam lagi. Kamu mau sarapan apa?" tanyanya seraya memainkan ujung rambut Risa dengan telunjuknya.

Perempuan itu membuka mata begitu bibir dingin Tama melekat sekilas di pelipisnya. "Ini jam berapa?" Risa bertanya sambil setengah bangkit, menyanggah tubuh polos di balik selimut tebal dengan dua tengan menapak di atas ranjang. Kelopak matanya mengerjap-ngerjap pelan.

Tama terkekeh pelan melihat kain penutup tubuh kurus itu sedikit melorot turun, memperlihatkan punggung kuning langsat istrinya. Ia buru-buru menarik ke atas, takut acara bertemu klien jadi kacau karena terlambat. "Jam enam pagi. Nggak usah masak, aku nggak masalah makan delivery food buat kita sarapan."

Mata yang semula sayu itu mendadak terbuka lebar. Tangannya sigap menggulungkan selimut ke tubuh lalu ia bangkit cepat-cepat. "No! Aku nggak mau stok sayur sama lauk di kulkas kebuang sia-sia. Tunggu sebentar, nggak lama ini." Risa berlari kecil ke kamar mandi, meninggalkan Tama yang tersenyum tipis.

Laki-laki itu berseru, "Nggak usah keburu-buru. Masih satu jam lagi!"

Tak ada sahutan dari penghuni dalam kamar mandi. Hanya ada suara gemericik air selama lima menit yang Tama isi dengan bersiap menata rambut dengan hair styling cream. Sampai akhirnya suara permintaan tolong itu terdengar dari dalam sana.

"Mas! Aku lupa bawa handuk! Ambilin, dong!"

Oke, mungkin ia bisa mengirim pesan pada adik iparnya, memohon kelonggaran waktu selama lima belas menit dan datang terlambat. Oh, tidak, tidak, dua puluh menit saja cukup! Eh, tiga puluh menit saja bagaimana?

**

"Dan tiba-tiba aja waktunya diundur jadi jam delapan! Bojomu kuwi, lho, Mbak! Aku udah datang ke kantor jam tujuh pagi tepat! Dia bilang jangan terlambat, ternyata diundur jadi jam delapan!"

Risa tergelak-gelak mendengar ocehan Tina siang ini. Gadis berkacamata bulat itu sedang kesal bukan main karena semalam begadang membuat proposal perjalanan wisata untuk diberikan pada klien. Namun, saat paginya ia menahan kantuk luar biasa dan berangkat lebih pagi karena Jogja bukan kota yang ramah kalau berurusan dengan sederet persimpangan berambu lalu lintas. Sayangnya, sampai di kantor, atasanya berkabar kalau pertemuan diundur pukul delapan.

SuddenlyWhere stories live. Discover now