36. Pisah Ranjang

4K 736 48
                                    

Hai, apa kabar?
Selamat hari Minggu. Selamat ikut acara lomba dalam rangka merayakan HUT RI. 🥳🥰

Jadi, dari awal Risa udah beruntung banget sebenernya dikejar-kejar cowok mapan, tampan, bin mapan. Nah, sekarang aku tuh mau dia juga ada usahanya dikit buat ngejar Mas Tama. Setuju?

Mari, kita balik! Sekarang biarkan Risa yang ngebucin dan usaha ngejar-ngejar Mas Tama. 🤭

Happy reading! 🥳

Eh, vote jangan lupa. 🤗

====🏖🏖🏖====


Dua hari ini suaminya lebih banyak diam dan bersikap dingin. Masih mengantar ke mana pun Risa pergi, tapi setelahnya pergi tanpa kata. Sarapan dalam diam dan seperti berusaha secepatnya menghabiskan makanan lalu pergi bekerja.

Ketika Risa bertanya, "Bukannya udah ada Siska yang gantiin kamu, ya?"

"Banyak hal yang perlu diberesin sebelum balik ke Denpasar," jawabnya sambil lalu, menjinjing tas kerja, dan hanya ada kecup singkat di kening sebelum berangkat.

Oh, bahkan Risa sampai lupa kapan terakhir kali mereka berinteraksi secara intim dan lebih dari sekadar mengecup singkat.  Sepertinya, laki-laki itu pun lebih suka memilih lekas pulas dengan alasan capek. Suaminya jadi terasa sulit dijangkau, sulit didekap, dan sungguh perempuan itu mendadak rindu dengan pelukan Pratama.

Ia butuh didekap, diberi ketenangan, dan diberi penguatan bahwa semua akan baik-baik saja. Riana akan membaik dan pulih dari kesedihannya. Rama akan mampu mengobati semua luka-lukanya sendiri bersama waktu yang akan lewat. Namun, dekapan itu tak kunjung Risa dapat.

"Aku nggak tega kalau Riana diceraikan, tapi mungkin itu yang terbaik, kan?" curhatnya pada malam ketiga sembari mencuri kesempatan menyelinap ke dalam dekap suaminya.

Caranya mencuri dekap itu berhasil meruntuhkan sedikit dinginnya rumah tangga. Hanya sebentar saat Risa mendongak, menggoda dengan melekatkan bibir keduanya. Ia tersenyum saat pergerakan kecil itu berbalas manis dengan satu lumatan dan pelukan erat. Namun, Tama menyudahinya begitu saja.

"Aku ngantuk," pungkasnya sembari melonggarkan peluk dan menaikkan selimut hingga leher. Bersiap tidur di tengah perempuan itu berharap ada renjana yang bergelora karena sungguh ia sangat merindukannya.

Dan malam itu, saat tengah malam Risa terjaga, ia baru sadar Tama tak ada di sisi lagi. Tiga malam mereka pisah ranjang. Laki-laki itu memilih berpindah ke kamar tamu atau tertidur di  sofa ruang kerja dengan berkas-berkas laporan perusahaan property keluarga Baskoro.

**

"Kamu yakin? Nggak sebaiknya dibicarakan dulu, Mas?" Laki-laki tua itu menyendok ikan nila berlumur saus asam manis dan menyantapnya pelan.

Siang ini, putra sulungnya mengajak pergi makan di Panenila, Jogja. Sebuah tempat makan estetik milik pengusaha peternak ikan nila, berpemandangan kolam ikan luas, live music, dan meja-meja tersusun rapi di pelataran dekat kolam. Baskoro masih belum bisa menolak makanan enak berbahan dasar ikan. Mereka memilih duduk di area luar tepat di tepi kolam ikan. Meski makanan sudah terhidang, mata Tama masih saja menatap kosong ke arah ikan-ikan yang berenang tak tentu arah.

"Mas." Baskoro menginterupsi lamunan putranya.

Merasa dipanggil, Tama berdeham, meraih cangkir latte dengan pola basic dari buih susu. Ia menyesap sedikit minumannya. "Iya, Pa. Kayaknya memang harus dikasih jeda dulu biar Risa bisa menyelesaikan masalah keluarganya."

SuddenlyWhere stories live. Discover now