Setelah membersihkan diri sambil ditemani ayah dan bunda di ruang makan, Elang mulai menyantap makanan yang sudah dihidangkan untuknya.

"Bunda, besok siang aku mau ketemu neng Senja!" seru Elang, sampai orang tuanya tertegun.

"Ayah dan Bunda kenapa nggak ngasih tahu kalau neng Senja sedang ada di kampung?" ujar Elang tampak menikmati makanannya.

Perlahan bunda Kartiwi menyentuh pundak Elang. "Kok bontot tahu kalau neng Senja ada di kampung?"

Elang menoleh. "A' Jay yang ngasih tahu," sahutnya.

"Ayah dan Bunda besok mau ikut nggak ke rumah abah?" seru Elang.

Keduanya hanya saling mantap tanpa ucapan, seolah tidak menemukan kata yang tepat untuk dinyatakan.

"Assalamu'alaikum!" seru Jay yang baru saja tiba di rumah.

"Wa'alaikumsalam ...." ayah dan Bunda beserta Elang kompak menyahut.

Ayah Pramudya beranjak dari kursi untuk menyambut anak sulungnya itu, segera memberitahu bahwa ada Elang di rumah.

"Elang?"

Sesaat Jay tertegun ketika melihat adiknya yang sedang makan, hatinya terenyuh hingga bergegas mendekat.

Pemuda kekar kesayangan Jay itu kini berdiri sampai Jay memeluknya.

"Elang."

"A' Jay."

"Kamu dari mana, Jay?" tanya bunda.

"Biasa, Bund, main di kosan Saga," sahut Jay.

Ayah Pramudya meminta Elang agar cepat tidur, anak muda itu menuruti perintah ayahnya dan bergegas masuk ke kamar.

Ayah, Bunda beserta Jay yang masih terjaga kini saling kebingungan, memikirkan apa yang akan mereka jawab jika Elang menanyakan kondisi Senja saat ini.

Ayah Pramudya meminta pada Jay agar tidak menceritakan rencana perceraian Senja dan Arjuna, tapi kasak-kusuk itu terdengar jua oleh Elang yang kini mengintip di balik pintu kamarnya. Ingin meminta penjelasan tentang apa yang terjadi, Elang pun keluar dari kamar untuk mempertanyakan semuanya tentang Senja.

Langit Biru kini tampak termangu setelah Jay Pramudya menceritakan segalanya. Menoleh pada ayah dan ibunya, Elang seakan tak percaya bahwa Arjuna tega menyakiti Senja, wanita yang selalu dijaganya sedari dulu.

Ayah Pramudya menyentuh pundak Elang, tetapi bunda sudah terisak dalam tangisan.

"Besok kalau ketemu neng Senja, Elang jangan singgung soal Arjuna, ya?" pintanya.

Elang menatap nanar pada ketiganya. "Kenapa kalian tidak memberitahukan hal ini sebelumnya padaku?" lirihnya.

Jay hanya menggeleng dengan tatapan yang sama nanarnya. Bibir Elang mengatup rapat seiring air mata yang menetes, lelaki itu menyekanya seketika lalu berpaling membelakangi keluarganya.

"Neng Senja sampai dipenjara? Itukah sebabnya aku bermimpi neng Senja menangis?" gumam Elang sampai Jay tertegun di belakangnya.

Mereka saling memandag, kemudian mendekat secara perlahan untuk memberitahukan kabar lainnya, bahwa abah Koswara baru pulang dari rumah sakit, dan hal itu membuat Elang semakin tercengang.

___

Pagi-pagi sekali, Elang bergegas untuk pergi ke rumah abah Koswara. Sebelum itu, ia mengucapkan terimakasih pada Jay karena telah menjaga Senja selama ini.

Jay lantas tersenyum. "Hati-hati," serunya, sampai Elang menjalankan motor dan pergi menjauh.

Setibanya di rumah abah Koswara, Elang bergegas menemui Abah dan Umi yang mana orang tua itu menyambutnya dengan gembira.

"Bontot Abah, kapan pulang?" seru abah sambil menepuk pundak kekar Elang.

"Tadi malam, Bah. Oh iya, kata ayah dan bunda, abah baru pulang dari rumah sakit? Abah sakit apa?" Elang menunggu jawaban, berharap agar kedua orang tua itu berterus terang padanya tentang apa yang terjadi.

"Abah Cuma kecapean, Alhamdulillah sekarang udah sembuh." Pungkas abah Koswara hingga menukir senyuman.

"Bontot, udah makan?" tanya Umi sambil mengusap lengan Elang.

"Udah sarapan, Umi, makannya nanti saja siang atau sore," ujar Elang.

Sigit dan istrinya menghampiri Elang.

"Bontot!" serunya.

Elang menoleh dan bergegas menghampiri keduanya.

"Gimana kabarnya? Kuliahnya gimana, lancar?" tanya Sigit.

"Alhamdulillah, lancar A'," sahut Elang sambil mengangguk, demikian pula dengan Sigit. "Mau ketemu neng Senja? Neng Senja ada di kamarnya tuh, dari kemarin belum mandi. Udah dua hari nggak mandi, nggak makan pula," ujar Sigit disertai tawa.

"Aa', ih, bisa aja deh." Istrinya sontak memprotes.

Elang kini menoleh pada Abah dan Umi, menatap wajah mereka satu-persatu yang kini jelas tampak murung.

"Iya udah, temuin neng Senja gih, ajakin jalan-jalan kemana gitu. Biar si neng nggak murung terus," tukas Sigit dengan menepuk pundak Elang.

Elang mengangguk kemudian berlalu dari hadapan mereka dan masuk ke kamar Senja yang kebetula tidak dikunci.

"Neng Senja!" serunya.

Lembut dan ceria, persis seperti biasanya. Namun sayang, kali ini begitu berbeda. Senja tidak lantas menyahutinya seperti dulu ketika masa sekolah.

Elang menghela napas dan duduk di kasur Senja tepat di samping si empunya yang sedang meringik dalam tangisan.

Elang terdiam memperhatikan Senja, tidak ingin bertanya kenapa karena yang pasti wanita itu kini jelas sedang menangis.

"Ehm ... neng Senja, kita keluar, yuk? Jalan-jalan ke mana gitu, mumpung aku libur kuliah," ujarnya ingin mencoba mengalihkan suasana. "Udah hampir tiga tahun, aku nungguin neng Senja yang katanya mau main ke Yogyakarta, kapan coba?" Elang semakin memandangi Senja yang menyusupkan wajahnya ke bantal.

Pemuda itu lantas berpaling muka untuk mengalihkan perasaannya yang juga terluka karena melihat Senja dalam keadaan demikian.

"Ke mana?" gumam Senja dengan lirih.

Elang menoleh seketika, hatinya merasa hangat karena Senja menyahut ajakannya.

"Ke mana saja yang neng Senja mau?"

Senja kini bangun dan duduk tepat di hadapannya, menyeka wajahnya yang tampak lusuh dan pucat.

"Elang kapan pulang?" tanya Senja yang masih sama lirihnya.

"Kemarin," sahut Elang singkat, ia memandangi wajah Senja yang mampu membuatnya pilu.

Senja kembali menyeka wajahnya. "Elang tambah ganteng aja, sih? Nggak capek apa ganteng terus?"

Elang mengukir senyuman tipis, lalu menundukan wajahnya sesaat. Kebiasaan itu sama sekali tidak berubah, Senja masih tetap orang yang sama, yang tak segan mencetuskan humornya.

Arjuna Senja√Where stories live. Discover now