32. Bad Brother

317 40 0
                                    

"Kartunya gak sama gue."

Hesa meneliti wajah mungil seorang gadis yang sama sekali tak merasa terintimidasi dan tenang melontarkan kalimatnya tanpa beban seolah ia tidak baru saja kehilangan aset berharga. "G milih buat mempercayakan kartu itu sama lo, tapi lo malah gak percaya sama dia?"

"Mana mungkin gue bisa percaya sama pengkhianat kayak dia!" Auilla menunjuk foto Gabriel dengan sorot mata tajam penuh kebencian yang selama ini dia pendam. Mengundang gelak tawa Hesa yang terdengar tidak tahu tempat.

"Mereka," ralat laki-laki berkulit sawo matang yang kini duduk di atas kursi rotan di pojok ruangan. Pergelangan kaki kanannya ditumpangkan ke atas paha kiri, menjelaskan serileks apa putra angkat keluarga pemilik Summerville ini tanpa kata-kata. "Lo bicara seolah-olah temen lo paling jahat, padahal cowok lo juga sama. Malahan dia yang lebih jahat karena lupa diri."

Tangan Auilla terkepal kuat di samping tubuh. Perempuan itu tak lantas menjawab sepatah kata apa pun sampai Hesa kembali bicara tentang hal-hal menyakitkan tanpa peduli akan perasaannya.

"Sakit hati lo parah juga ya ternyata. Harusnya dengan bikin dia meninggal secara sadis, lo udah cukup merasa lebih baik, kan?"

"Maksud lo apa?"

"Ayolah, gue tahu semua hal tentang lo, termasuk isi pikiran lo yang pengen adik gue mati."

Auilla refleks mundur dua langkah dari tempatnya berdiri. Kedatangannya ke gudang belakang sekolah hari itu memang bukan tanpa sengaja. Ia tak sengaja mendengar Noah, Quinn, termasuk kekasihnya membicarakan gudang belakang sambil menyebut-nyebut nama Gabriel waktu ketiganya belum menyadari kedatangan Auilla di ruang belajar Quinn pagi itu.

"Mau sampai kapan kita biarin G di sana? Gudang belakang itu all access, loh. Semua orang bisa nemuin dia kapan aja."

"Gudang itu udah jarang banget ada yang buka, Maven juga udah kasih sticker rusak di pintunya."

"Sampai G mau ngasih---"

Getaran singkat di ponselnya hampir membuat si gadis berambut pendek itu terlonjak sangking kagetnya. Ia hampir membongkar keberadaannya di tempat dia bersembunyi di balik pintu andai tak buru-buru menyapa dengan riang manusia-manusia berwajah serius di dalam ruangan. Mereka menyambut kedatangannya dengan hangat, ikut berpura-pura tak terjadi apa-apa.

"Hai, Sayang. Ngobrolin apa aja sama Jaquelin, kok lama banget?"

Noah dan Quinn sama-sama menatapnya pura-pura ingin tahu.

"Ngobrolin ... tempat les. Jaquel katanya butuh rekomendasi tempat les buat Matematika yang jadwalnya lebih banyak jadi dia bisa menyesuaikan," katanya setelah mengambil duduk di sofa single yang berseberangan dengan sofa panjang yang diduduki Nael bersama Noah. Gadis itu membuka pesan dari Hesa yang tadi sempat mengejutkannya di depan pintu.

"Eh duluan ya, anak-anak udah pada nelponin mulu nih. Mau sarapan aja gak bisa tenang rasanya." Noah melahap suapan terakhir roti isi telur dari kotak bekal Quinn sambil terburu-buru mengalungkan kembali kartu pengenal keanggotaan SSC sekaligus menyambar jas almamater organisasi itu yang tergeletak di lengan sofa.

"Siap Bapak Pres."

Bertepatan dengan Noah yang berlari keluar, Rae dan Yssabelle datang ke tempat itu dengan diam. Seolah tak ingin mengganggu waktu antara satu sama lain, kelima manusia berseragam Saintama di tempat itu tidak saling bersuara. Mereka sama-sama terdiam, sibuk memainkan ponsel masing-masing tanpa terdistraksi.

Pesan yang dikirim oleh Hesa membuat Auilla sepuluh kali lebih bungkam pagi itu. Seluruh jemari tangannya bergerak gelisah memandangi wajah Nael yang terlihat masih seperti biasanya. Tidak ada yang berubah dari laki-laki itu seiring kabar dan segala bukti yang ia terima dari seseorang yang tak terlalu dekat dengannya.

Tenggorokan Auilla tercekat sakit. Ia tidak berani bertanya atau menyinggung apapun tentang semua yang ia lihat di layar ponsel pagi itu.

"Aku ke bawah dulu sebentar ya, mau mastiin jadwal demo ekskul sekalian beli kopi. Kamu mau kopi juga gak? " Nael bertanya kepadanya. "Nanti aku telpon aja deh kalau udah di bawah."

Ruangan itu kembali hening dan senyap.

Nael bisa jadi bohong. Nael bisa jadi pergi ke gudang belakang untuk menemui Gabriel yang dikurung oleh mereka di tempat itu.

"Polisi mulai curiga sama gue." Quinn memulai obrolan dengan topik yang mulai tak bisa ia percaya. Setelah merebut seseorang yang paling berharga dalam hidup Auilla, menukarnya dengan kartu akses ruang belajarnya sendiri yang bersifat pribadi, sekarang ia bersembunyi dengan permainan memuakkan yang selalu kekanak-kanakan untuk mengerjai teman-temannya?

Auilla tidak akan percaya dengan tabiat busuk manusia itu.

"Lo pergi ke gudang untuk melampiaskan rasa muak dan benci lo." Hesa kembali bicara, mengembalikan konsentrasi sang gadis berambut pendek yang sempat tak berkutik. "Kesaksian lo hari itu perlu dipertanyakan."

Ia menggeleng tak terima. "Bukannya lo yang udah bunuh dia dengan tangan lo sendiri? Gue gak melakukan apa-apa. Apa yang gue bilang hari itu dan apa yang gue lihat pertama kalinya di sana, memang kejadiannya seperti itu."

"Yang harusnya dipertanyakan itu elo!"

Hesa menatapnya tajam menerima semua tuduhan tak mendasar dari perempuan kurus itu.

"Apa yang lo lakuin di sana sepagi itu?"

Sekarang giliran Hesa yang tak berkutik.

Auilla merasa puas karena berhasil membalik keadaan. Ia sejujurnya hanya tak sengaja melihat Hesa berjalan ke area belakang sekolah dari parkiran saat ia sedang bicara dengan Jaquelin di taman. Tidak ada yang ia tahu setelahnya. Tetapi melihat bagaimana Hesa menatapnya seolah-olah mengatakan ia lancang dan kurang ajar, Willa jadi sadar bahwa semua hal itu memang saling berkesinambungan.

"Bener 'kan, lo yang udah bunuh anak kandung keluarga angkat lo karena lo mau jadi anak satu-satunya?" Demi Tuhan Auilla tak berencana mengatakan itu. Semuanya mengalir begitu saja dari otak menuju bibir tanpa sempat disaring.

Mereka sudah berdiri saling berhadap-hadapan.

Kemarahan Hesa sama sekali tak membuatnya takut. Auilla merasa semakin tertantang. "Anak angkat gak tahu diri."

"Jaga omongan lo!"

"Awh!" Gadis itu memekik saat tiba-tiba tangan Hesa menarik rambutnya secara paksa.

"Gue gak lebih busuk dari pada temen lo satu itu," kata Hesa sungguh-sungguh.

"Lo manusia paling busuk yang paling gue kenal!" Dengan gerakan cepat yang cukup kuat, Auilla menendang tulang kering Hesa menggunakan ujung sepatu kets bersol tinggi nan keras yang langsung membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan. Ia menggunakan kesempatan itu untuk kabur, berlari menjauh dari area Summerville dan Hesa yang seperti orang kesetanan meneriakkan namanya.

Auilla berlari secepat yang ia bisa. Tangannya segera merogoh ponsel ingin---setidaknya---menelepon Rae atau Nael yang pasti akan membantu.

Deru suara motor dari mini house terdengar sampai ke telinganya.

Sial.

Wilayah perbukitan nan jauh dari area perkotaan yang ramai membuat ponselnya sama sekali tak berfungsi.

***

Bekasi, 30 Agustus 2023

Who Killed My G? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang