26. False Witness

242 40 0
                                    

Noah bertemu Marche di make up room sebelum pemotretan Face of The School dimulai. Ia datang sedikit terlambat setelah mengikuti rapat mendadak bersama kepala sekolah untuk membahas ruang belajar Gabriel yang mulai harus ditindak lanjuti. Mr. Joseph mengusulkan agar ruangan tersebut dibongkar paksa, urusan persetujuan para VIP lain biar beliau yang mengatur. Pihak sekolah ingin masalah pembunuhan ini cepat selesai, meski sudah tidak ada lagi wartawan yang ingin mengorek informasi tentang berita itu sebab semua orang tahu bahwa pelakunya sudah tertangkap, Saintama tetap merasa tidak nyaman dengan adanya ruangan belajar tersebut.

"Lesu banget kayaknya, kayak lagi kelilit pinjol." Perempuan itu berusaha mencairkan suasana yang terlalu kaku di antara keduanya. Sejak pertama kali mendaratkan pantatnya di kursi depan kaca hampir lima menit yang lalu, Presiden Siswa Saintama ini belum mengucapkan sepatah kata apapun. Meski terkenal sedikit arogan karena pembawaannya yang selalu berwibawa, Marche tetap mengerti bagaimana suasana hati laki-laki itu. Noah biasa menyapanya entah dengan kata-kata 'hallo, Marche!' atau sekadar senyuman tipis yang menjalar hingga mata. "Suasana hati yang buruk bisa kelihatan nanti di kamera."

Noah mau tak mau tertawa. "Itu berlaku juga buat yang diem aja udah keren?"

Marche menyenggol pundak laki-laki itu pelan. Ia baru sadar kalau tingkat ketampanan Noah bisa dibilang di atas rata-rata. Disapukannya perlahan-lahan selembar kapas yang sudah ia basahi dengan cairan pembersih ke permukaan kulit wajah Noah yang mulus bersih. Untuk ukuran seorang laki-laki, kulit Noah terbilang sangat bagus dan terawat. Marche merasa iri menyadari tidak ada satu pun jerawat yang menghinggapi wajah itu, membuatnya tanpa sadar mengibaskan poni untuk menutupi dua titik jerawat di dahinya yang sebelum ini sudah ia tutup-tutupi dengan pimple patch. Hidung tinggi Noah seperti tanpa pori-pori, bersih terawat, dan jauh dari gangguan komedo.

"Gue takut banget tahu tiap make up-in lo, No. Takut muka lo kenapa-napa."

"Bukan barang pecah belah kok ini, tenang aja." Laki-laki itu menyimpan ponsel di atas meja rias setelah mengirim pesan singkat untuk Quinn yang isinya acara pemotretan akan segera dimulai sebentar lagi.

"Gak gitu, takutnya lo jadi jerawatan karena gak cocok sama produk make up dari gue atau apa. Kan sayang."

"Santai sih. Buktinya dari dulu kulit gue gak apa-apa. Kalau jerawatan ya tinggal perawatan, ya gak?"

"Rajin perawatan ya lo? Makanya kulitnya bagus gini?"

Noah menurut waktu Marche menyuruhnya menatap langit-langit ruangan karena perempuan itu akan mengoleskan concealer di bawah mata. "Gak rajin, sih, tapi kadang-kadang iya. Kalau Quinn minta temenin ke salon, gue kadang ikut nyalon juga. Ya masa gue gabut doang nunggu dia."

"Kenapa gak jadian aja, sih, No? Naksir dari kecil tapi gak nembak-nembak lo. Payah."

"Harus penuh pertimbangan kali, Che."

"Ditimbang-timbang mulu keburu keduluan Maven loh kayak yang udah-udah."

Noah tertawa, mengundang decakan kesal dari Marche yang sedang mengoleskan pelembab di bibir laki-laki itu. "Takut ya lo, Maven nembak dia duluan?"

Marche menyibukkan diri dengan menyelesaikan setiap sentuhan di wajah laki-laki itu dengan sangat baik. "Rambutnya naikin aja ya, No? Lo kelihatan bocah banget kalau ponian gini."

Ia mengangguk sekenanya. Bukan urusan Noah Marche mau menjawab pertanyaannya atau tidak. Meski sudah sama-sama tahu isi perasaan masing-masing, Noah paham betapa sulit dan tersiksanya mereka untuk sekedar mengakui perasaan menyebalkan---yang tetap saja datang meski sudah ribuan kali ditolak---itu.

Seseorang menyibak tirai di belakang mereka tanpa aba-aba. Memecah keheningan di antara keduanya yang secara refleks langsung menoleh, mendapati Auilla berdiri di luar bingkai pintu dengan wajah yang sama kagetnya. "Eh, sori sori, gue pikir udah kelar. Ganggu ya?"

Who Killed My G? (END)Where stories live. Discover now