25. Little Secret

247 42 4
                                    

"Hesa?!"

Pagi hari sebelum seluruh anggota keluarga Moanaro pergi ke tempat tujuan masing-masing, mereka selalu menyempatkan diri untuk sekedar duduk melingkari meja makan berbahan marmer yang menjadi satu-satunya tempat untuk bertemu sedikit lebih lama di dalam rumah. Sastra, sang kepala rumah tangga menginformasikan bahwa private mini house milik Gabriel di kawasan utama Summerville akan segera dipindah nama menjadi milik anak adopsi adiknya. Antara Mahesa.

"Aku gak salah denger? Kenapa harus dia?"

"Karena dia jadi satu-satunya keponakan Papi sekarang. Satu-satunya anak yang Aunty punya." Airine baru selesai membuat kopi untuk bekal suaminya, meletakan sebuah tumbler berlogo coffee shop ternama di meja makan, lalu ikut bergabung duduk di sana dengan wajah datar yang menandakan ia tak seberapa tertarik dengan obrolan itu.

Segala hal yang berhubungan dengan kematian putri adik iparnya menjadi sesuatu paling memuakkan yang ia dengar. Terlebih jika itu harus menyangkut perkembangan kesehatan mental adik suaminya yang kian hari kian memburuk, memperparah keadaan yang belum juga membaik sampai detik ini.

"Pokoknya aku gak setuju!"

Hening menyelimuti ruangan itu setelah kalimat terakhir Quinn selesai terucap.

Clay melambatkan kunyahannya pada sepotong roti gandum yang baru ia gigit beberapa waktu lalu, menebak keributan seperti apa yang akan terjadi antara ketiga atau keempat orang---ditambah dirinya sendiri---yang bisa tertarik untuk masuk dalam perdebatan kapanpun ia mau.

"Papi gak minta persetujuan kamu." Tuan Sastra angkat suara dengan nada bicaranya yang tetap datar tetapi terdengar seperti tak tersentuh.

"Sebelum pembunuh Gabriel ketemu, aku gak akan biarin private house jadi milik dia!" tegas Quinn tetap pada pendiriannya.

"Jaga bicara kamu, Mami gak pernah ajarin kamu teriak di depan Papi."

Quinn tak gentar meski perempuan berlipstik semerah anggur itu menatapnya sangat tajam seolah hampir melukai iris mata si gadis berseragam Saintama andai ia tak buru-buru memalingkan wajah. Berpura-pura muak.

"Kamu mau pembunuhnya ditangkap? Kalau kamu memang ingin mati dipenjara Papi gak perlu repot-repot bayar detektif untuk melindungi kamu."

"Papi nuduh aku? Papi lebih percaya sama omongan detektif gak jelas itu dari pada sama aku? I've never lied you before, Pi. You can trust me!"

"Jelas-jelas kamu bohong sama Papi soal penculikan itu."

"Tapi aku gak bunuh dia!"

Clay tercengang di tempatnya. Bocah laki-laki berseragam sekolah Saintama itu sudah tak tertarik lagi dengan roti gandum di atas piring yang masih tersisa setengah. Fakta apa yang baru dia dengar barusan?

"Itu artinya salah satu dari teman kamu melakukannya."

"Bukan juga temen-temenku!"

"Tahu dari mana kamu kalau bukan mereka pelakunya?"

Quinn lagi-lagi tak berkutik mendapat pertanyaan semacam itu dari Sang Ibu. Kepercayaannya terhadap Maven, Nael, dan termasuk Noah memudar seiring fakta yang ia ketahui dari mereka bahwa merekalah laki-laki yang sudah meniduri saudaranya di luar kesepakatan yang sudah ditentukan.

"Kamu tetap masih ingin percaya dengan orang-orang yang sudah berkhianat di belakang kamu?"

"Kalau ternyata pengkhianatnya justru ada di pihak Papi, gimana?"

Semua pasang mata di sana tertuju ke arah Clay untuk menuntut penjelasan lebih banyak.

Bocah laki-laki itu sempat menenggak air mineral di gelasnya sebelum kembali bicara dengan santai. "Penasaran aja. Nothing impossible 'kan di situasi yang kayak sekarang ini?" Ia tersenyum penuh arti kepada kakak perempuannya yang sudah siap mengepalkan tangan di bawah meja. "I know a little bit secret 'bout this case."

Who Killed My G? (END)Where stories live. Discover now