chapter 26 : billiard

6.6K 342 116
                                    

"Jangan ragu sama apa yang lo pilih, karena ketika lo ragu, maka lo pasti akan kehilangan segalanya

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

"Jangan ragu sama apa yang lo pilih, karena ketika lo ragu, maka lo pasti akan kehilangan segalanya." - Milan Sabiru.

༺❀༻

Berlin keluar dari kamar usai membersihkan tubuh, lalu dia melangkah menuju ruangan kamar Helena, perlahan Berlin membuka pintu sehingga Helena menoleh padanya.

"Bunda," panggil Berlin pelan, menyandar pada sisi pintu.

"Sini." Helena menepuk tempat di sampingnya sehingga Berlin melangkah mendekat. "Ada apa, Luna?" tanya sang Bunda kemudian.

Berlin menoleh pada layar laptop dipangkuan Helena, dia menghela pelan. Helena tidak pernah berhenti untuk bekerja, Bunda-nya itu terlalu memforsir diri.

"Bunda masih sibuk aja, istirahat dulu Bun, 'kan masih ada hari esok," ucap Berlin, menatap Helena.

"Sebentar lagi selesai kok sayang, Bunda gapapa." Helena menoleh pada Berlin. "Luna sendiri kok belum tidur?" tanyanya.

"Gak bisa tidur, Luna mau tidur sama Bunda," ucap Berlin.

Helena mengulas senyum mendengar pengakuan Berlin, putrinya sudah berusia delapan belas tahun namun masih terlihat seperti anak kecil dimata Helena, lantas Helena menutup laptop dan meletakkan benda tersebut di atas nakas.

"Sini tiduran," ucap Helena sembari menepuk pahanya pelan.

Berlin memasang raut wajah senang kemudian segera merebahkan tubuhnya dengan paha sang Bunda yang dijadikan bantal.

"Gimana hari ini di sekolah?" tanya Helena seraya mengusap surai panjang Berlin.

"Not bad, Bunda," ucap Berlin pelan.

"Kalau ada masalah di sekolah Luna harus cerita sama Bunda, hal sekecil apapun itu Bunda pasti akan luangkan waktu buat Luna," ucap Helena yang masih setia mengusap rambut putrinya.

Berlin manggut kecil, "iya, Bunda, terimakasih sudah jadi Bunda yang baik buat Luna."

"Everything I do for my little princess." Helena tersenyum, memberikan kecupan singkat pada kening Berlin.

Berlin menatap Helena gelisah, Bunda-Nya mungkin bisa terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya tidak. Tidak bisa Berlin bayangkan bagaimana jika dia memposisikan diri sebagai Helena, itu pasti sangat melelahkan.

"Bunda..." Berlin bangkit dari posisi tidurnya menjadi duduk menghadap Helena. "Sekarang Luna udah besar jadi bisa ngerti seberat apa posisi Bunda, kalau capek Bunda boleh ngeluh, Luna juga bisa jadi teman cerita kok, jadi Bunda gak boleh sembunyikan apapun, Bunda boleh ceritakan semua hal ke Luna, ntah itu masalah pekerjaan atau hal lain, pasti akan Luna dengar kok," ucap Berlin

Helena menepuk pipi Berlin pelan, terharu mendengar ucapan barusan. "Sejak kapan bayi-nya Bunda bisa bicara sedewasa ini?" kekeh Helena, menahan untuk tak menangis.

MILAN [TELAH TERBIT]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt