18 || Dosis

415 74 7
                                    


Terhitung sudah dua bulan berlalu, semua berjalan seperti biasanya, hanya saja Zearka mulai tak bisa mengendalikan diri untuk menginginkan heroin, hingga ia rela mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan obat yang ia inginkan, ia benar-benar tak mau meninggalkan obat itu untuk tubuhnya, sebab ia tahu bagaimana sakit tubuhnya saat menginginkan obat tersebut.

Zearka mulai merasakan perubahan dalam hidupnya, ia tak segiat dulu, selalu mengantuk dan merasa lelah, emosinya berubah-ubah, bahkan nafsu makannya menurun hingga terlihat jelas tubuhnya sedikit mengurus akhir-akhir ini.

Sudah dua bulan pula Zearka tak berani menemui Zegas, ia takut Zegas menyadari perubahan di tubuhnya dan mengetahui semua kesalahannya, maka dari itu ia selalu menghindari Zegas, bahkan ia pura-pura tidur saat Zegas datang ke rumah Shian untuk menemuinya, hanya berani berbincang melalui ponsel saja.

Ada rasa penyesalan di diri Zearka, seandainya ia menahan kuat-kuat keinginannya untuk menggunakan obat terlarang tersebut, mungkin efeknya tidak akan sebesar ini, mungkin ia tak menggunakannya sesering ini, dan mungkin tabungannya tidak cepat habis.

Zearka menghela napas lirih setelah membasuh wajahnya di wastafel rumah sakit, ia pun keluar dari toilet kamar rawat Aji, hingga ia dapat melihat Aji yang masih terlelap di atas ranjangnya.

Sebenarnya ada rasa penasaran tentang Aji, ucapan Aji akhir-akhir ini terdengar lebih jelas, sempat ia mendengar Aji menyebutkan nama Razkal, padahal sebelumnya Aji divonis mengalami hilang ingatan serta sikapnya akan seperti bayi baru lahir, dan sebelumnya tidak ada satu pun orang-orang di sekitarnya yang membahas soal Razkal.

Jika Zearka bisa berharap, Zearka harap Aji kembali seperti sedia kala, mengingat semuanya, dan bisa beraktivitas kembali.

Cklek

Zearka menoleh, terlihat Eza yang baru saja pulang bekerjai, "katanya mau langsung pulang, bang. Zear bakal nemenin Aji sampe besok."

"Sekalian aja, besok Aji dibolehin pulang."

Zearka mengerutkan dahinya, "aji belum sembuh, bang."

"Tagihan rumah semakin besar, gak selamanya Zegas bayarin terus, lagian abang bisa urus Aji di rumah."

"Sendiri? Terus kalau abang kerja gimana?"

Eza terdiam dengan tatapan yang terus mengarah pada Aji, seolah ia sedang bingung saat ini, bingung sampai kapan ia harus seperti ini? Ia lelah, namun tak bisa membebankan semuanya pada Zegas, terlebih ia percaya bahwa Zearka bukanlah pelaku yang mendorong Aji.

"Bang, biarin Aji di sini, kalau di sini ada yang bantu urusin Aji, abang cuma tinggal kerja dan jengukin Aji aja. Soal tagihan rumah sakit ini udah tanggung jawab Zear. Zear janji bakal cari yang yang lebih banyak, Zear bakal temenin Aji sampe Aji bener-benar sembuh," ujar Zearka yang tak sedikit pun merasa setuju tentang ucapan Eza.

"Mau sampai kapan kamu nanggung semuanya, Zear? Kamu bukan orang yang dorong Aji."

"Zear yang dorong Aji, terserah abang mau percaya atau gak, pokoknya Zear bakal lakuin apa pun buat—."

"Lama-lama abang muak sama kamu, ngakuin kesalahan orang lain sampai segininya, sampai bawa-bawa Zegas yang gak tau apa-apa, seharusnya dia kerja buat diri dia sendiri bukan buat kamu yang sok-sokan mau bayarin tagihan rumah sakit Aji!" Ujar Eza menyela ucapan Zearka dengan bentakan, ia menatap Zearka dengan tajam menunjukan betapa lelahnya ia dengan semua ucapan Zearka.

"Zear bakal berenti sekolah buat kerja—."

"Zearka!" Bentak Eza sambil mencengkram kerah Hoodie Zearka.

"Gak ada gunanya kamu nutupin siapa pelakunya, hal ini cuma ngerugiin kamu dan Zegas," desis Eza yang berusaha menyadarkan Zearka dari segala ucapan yang menurutnya palsu.

ZEARKAWhere stories live. Discover now