15. C'est Pour Toi

516 131 16
                                    

Ariga melajukan mobil milik Shahreen yang mereka naiki dengan kecepatan standar. Ia tidak tahu harus membawanya ke mana sampai Shahreen tenang. Kalau langsung ke kedai, bisa saja ia turun seorang diri, tetapi ummi dan abunya pasti bertanya-tanya. Akhirnya ia hanya berputar-putar mengelilingi kota Solo saja.

"Maaf, ya,Bang?" ucap Shahreen disela sesenggukannya.

Ariga mengangguk, tapi bingung harus menjawab bagaimana sebab takut salah kata lagi dan berakhir Shahreen yang menangis. Hal yang paling tidak ingin dilakukannya. "Nggak apa."

Tepat setelah itu, ponsel Ariga berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menghubungi karena fokusnya sudah terpecah antara jalanan dan Shahreen yang menangis, ia menerimanya.

"Halo?"

"Ariga, kamu di mana?" Terdengar suara melengking panik Frida di seberang.

Menyadari siapa yang menghubungi, helaan napas panjang seketika meluncur dari mulut Ariga. "Oh, kami sudah pulang."

"Lho, kok gitu? Nggak ketemu yang lain, guru-guru..." tuntut Frida seperti tidak terima dengan tindakan Ariga.

"Ya, sayangnya memang begitu."

"Siapa tadi yang pergi sama kamu? Adik kelas kita tuh?"

"Shahreen ?" Mengucapkan itu, Ariga menoleh pada si empunya nama dan kebetulan Shahreen juga balas menatap karena mendengar namanya disebut sambil mengusap air mata dan ingusnya.

"Iya, Shahreen? Istrimu? Pacar? Dia yang minta pulang cepat? Padahal, kan, bisa ngobrol sama teman-temannya sendiri juga..." cerocos Frida yang membuat gatal dan panas telinga Ariga.

"Bukan karena Shahreen. Kenapa jadi menyalahkan Shahreen?" Tanpa sadar nada suara Ariga sedikit meninggi yang membuat Shahreen menoleh kaget, "kami memang nggak bisa lama. Maaf, ya, aku tutup dulu, masih di jalan." Tanpa basa-basi pun ia memutus sambungan teleponnya.

Ariga tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya pada Frida yang menuduh Shahreen sembarangan. Apa pula maksud temannya itu? Sungguh tak masuk akal. Ia pun istighfar berkali-kali hingga kekesalannya mereda, baru kemudian menatap Shahreen.

"Sudah tenang?" tanya Ariga dengan suara lembut yang keluar tanpa disadarinya.

Shahreen balas menatap Ariga dan mengangguk. "Lumayan."

"Alhamdulillah." Ariga tersenyum lega. "Mau pulang sekarang?"

Jika memungkinkan, Ariga ingin sekali membawa Shahreen ke tempat yang bisa menenangkan pikiran, tapi hal itu tidak mungkin dan ia juga sudah berjanji kepada Damai untuk segera membawa putrinya pulang.

Shahreen mengangguk. "Iya, boleh. Ini nanti ke kedai dulu, kan?"

"Iya."

"Aku mau numpang cuci muka."

"Oke."

Ariga pun melajukan mobil menuju kedai orang tuanya untuk memberikan serabi yang tadi dibelinya, tetapi sebelum itu ia singgah sebentar di minimarket terdekat yang dilewatinya.

"Tunggu sebentar, ya?" pinta Ariga yang diangguki oleh Shahreen.

Ariga yang sudah parkir dan mematikan mesin mobil, segera turun. Ia ingat Damai pernah cerita dulu sekali, jika ingin menghibur wanita-wanitanya terutama putri-putrinya yang ngambek atau sedih cukup diberikan es krim. Oleh karena itu, karena tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghibur Shahreen, mungkin es krim bisa sedikit mendinginkan kepalanya.

Memasuki minimarket, Ariga langsung menuju tempat es krim. Karena ia tidak tahu kesukaan Shahreen, maka ia mengambil beberapa rasa dari yang cokelat, vanila, strawberry dan segar buah-buahan kemudian mengambil dua botol air mineral dan sebotol kopi. Setelah itu ia segera membayarnya di kasir.

Caragana Where stories live. Discover now