5. L'explosion dans la vie

600 147 9
                                    

Betapa terkejutnya Ariga ketika ia dan Svarga hendak pulang, ternyata ada Damai datang berkunjung. Ketiganya bertemu di depan Caragana. Spontan ia memberi hormat sebelum mencium tangan abinya Shahreen yang dibalas dengan pelukan hangat. Sesudahnya ia mengenalkan siapa lelaki di hadapannya itu pada temannya yang segera memberi hormat juga sebelum mencium tangan.

"Mau balik?" tanya Damai yang diangguki oleh Ariga.

"Iya, Om. Mau ketemu Shahreen? Ada di ruangannya tadi," kata Ariga.

Damai mengangguk. "Bisa ngobrol sebentar?"

"Siap, bisa." Ariga juga mengangguk.

"Nggak sedang terburu-buru, kan? Kapan balik ke Semarang?" tanya Damai.

"Siap, tidak, Bapak. Masih nanti kami kembali ke Semarang," jawab Svarga.

Ketiganya pun kembali memasuki kafe dan mencari tempat duduk.

"Om mau tanya sesuatu sama kamu." Damai menatap lelaki muda bermata abu-abu kebiruan di sampingnya dan bicara tanpa basa-basi.

"Siap." Ariga mengangguk. Ia merasa ada sesuatu yang akan dibicarakan oleh Damai, sudah kelihatan dari ekspresinya dan itu, terus terang saja membuatnya sedikit ketar-ketir, tetapi berusaha disembunyikannya meskipun mungkin Damai bisa melihatnya.

"Kamu kemarin ke sini?" tanya Damai kali ini lebih tenang, bahkan ia duduk semakin bersandar di kursinya.

Pertanyaan Damai adalah pertanyaan yang umum dan sangat biasa, tetapi jantung Ariga terasa seperti melompat jauh. Dengan usaha ekstra keras walau bisa jadi sia-sia, ia tetap mencoba menutupinya.

"Siap, kemarin saya ke sini karena Mamak minta begitu saya pulang, saya disuruh membawakan mi yang dibuat Mamak khusus untuk Shahreen," jawab Ariga dengan nada yang setenang mungkin.

"Ketemu seseorang?" tanya Damai lagi.

"Seseorang?" Ariga menatap abinya Shahreen dengan bingung. "Izin,Om, seseorang itu..."

"Kemarin Shahreen ada tamu?"

"Tamu? Oh, ya, saya lihat kemarin ada tamu untuk Shahreen tapi Shahreen menyuruh saya langsung menunggu di ruangannya, jadi saya tidak tahu siapa dia." Ariga menjelaskan sembari mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin.

"Kenapa kamu langsung disuruh pergi?"

Pertanyaan Damai membuat Ariga menaikkan kedua alisnya seketika. "Kenapa? Saya kurang paham, hanya saja Shahreen seperti tidak nyaman begitu kedatangan tamunya. Niatnya saya langsung pulang, barangkali tamunya ada perlu atau apa, rupanya tak butuh waktu lama dia sudah menemui saya lagi. Izin, Om, ada masalah? Shahreen nggak apa-apa, kan?" Tanpa sadar ia menoleh ke arah kantor di mana sedari tadi sang pemilik kafe berada.

"Nggak apa-apa. Terima kasih informasinya." Damai menepuk bahu Ariga sambil berdiri. "Kalian berdua hati-hati di jalan terutama saat kembali ke Semarang."

"Siap," sahut Ariga dan Svarga serentak sembari ikut berdiri.

"Saya masuk dulu, ya?" pamit Damai kemudian berlalu dari keduanya.

Ariga dan Svarga masih berdiri hingga Damai betul-betul menghilang dari balik pintu ke arah ruangan putrinya, barulah setelah itu keduanya juga meninggalkan kafe.

"Kamu kenapa, seperti kepikiran gitu, bro?" Svarga menepuk bahu temannya cukup keras.

"Aku curiga ada yang nggak beres," jawab Ariga pelan sambil terus jalan ke parkiran. Mengenyam pendidikan hingga ditugaskan di satuan yang sama membuat keduanya dekat dan hal itu membuat cukup terbuka satu sama lain.

Caragana Where stories live. Discover now