11. La Permission

554 132 15
                                    

Ketika isoma, Ariga mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Ia mengirim pesan kepada Damai sambil harap-harap cemas.

Svarga yang ada di sampingnya menatap Ariga dari atas ke bawah. "Kowe ki ngopo? Kayak habis ketahuan bikin salah."

Ariga menghela napas panjang. "Habis kirim pesan ke abinya Shahreen."

Tepat setelah berkata begitu, ada panggilan masuk yang membuat Ariga spontan berdiri tegak sambil menerimanya. Rupanya tak butuh waktu lama bagi Damai untuk merespons pesan Ariga, entah karena memang sedang luang atau karena topiknya sensitif sehingga merasa perlu segera dikondisikan.

"Assalamu'alaikum, Ga," panggil Damai di seberang.

"Wa'alaikumussalam,Om," balas Ariga mendadak merasa panas dingin.

"Apa maksudnya mengajak pergi Shahreen ke reuni sekolah?" Nada rendah dan nyaris datar dalam suara Damai semakin membuat ciut Ariga.

Aduh, mampus! Jawab apa? batin Ariga panik. Keringat dingin Ariga mulai bermunculan. "Izin, Om, kami sama-sama diundang. Itu reuni akbar yang akan dihadiri beberapa angkatan termasuk angkatan saya, adik saya dan Shahreen."

"Nah, itu ada Syari juga. Ngapain masih ajak Shahreen? Lagi pula, biasanya kamu sama Juno, kan?" Damai juga mengenal Juno sebab sama-sama latihan binsik bersamanya juga.

Kuldesak. Jalan buntu. "Siap, benar,Om. Syari tidak bisa hadir karena ada janji lain, sedangkan Juno...Juno ...sudah pergi, Om." Sesungguhnya masih terlampau berat bagi Ariga membahas Juno apalagi jika diingatkan akan segala sesuatu yang lumrah mereka lakukan bersama.

"Oh, iya. Satuannya, kan, jauh. Belum tentu pulang, ya, dia."

"Izin, Om. Juno sudah berpulang. Sudah meninggal." Sekali lagi berita itu terlontar dari mulut Ariga yang memaklumi tak semuanya mengetahui kabar tersebut.

"Innalilahi wa inna ilaihi raji'un. Gugur?"

"Siap, tidak. Juno kecelakaan tahun lalu."

"Turut berdukacita, ya. Kamu yang kuat ya."

"Siap, terima kasih, Om."

"Lalu, alasan  mengajak Shahreen?" Akhirnya kembali lagi pada topik pembicaraan semula dan Damai masih terdengar tak ada ampun sekalipun untuk Ariga meskipun ia sendiri pernah berkata menyetujui lelaki muda itu untuk putrinya.

"Izin, Om, mohon maaf sebelumnya. Sejujurnya saya tidak ada alasan apa pun kecuali merasa kurang nyaman jika pergi sendiri apalagi tempat itu penuh kenangan Juno. Ditambah adik saya tidak datang," jawab Ariga jujur dan kini keringat membanjiri dirinya.

Svarga yang masih berada di tempatnya, menggelengkan kepalanya tak percaya bahwa Ariga setakut itu pada Damai.

"Tidak datang sekalian, kan, bisa," kata Damai datar.

"Siap, bisa, Om," jawab Ariga tegas.

Untuk sesaat tak ada respons dari Damai, apalagi sepertinya sedang bicara dengan seseorang di seberang. Sebuah jeda yang membuat Ariga semakin merasa panas dingin.

"Shahreen mau datang sama kamu?" Tiba-tiba Damai bertanya membuat jantung Ariga terasa meluncur turun dari tempatnya berada.

"Siap, katanya kalau Om Damai mengizinkan, dia mau." Ariga berkata begitu sambil menelan ludah.

"Kamu betul-betul tidak ada alasan?" cecar Damai.

"Siap, biar tidak terlalu lama di sana dan bisa pulang lebih cepat," sahut Ariga jujur. Mau berbohong pun, Damai pasti mengetahuinya.

"Kamu memanfaatkan Shahreen?!" Nada bicara Damai meninggi seketika mendengar jawaban Ariga.

"Siap, tidak!"

Caragana Where stories live. Discover now