Part 21

1.7K 259 12
                                    

Aneska mengapit lengan Henley dengan erat sembari menelan ludah gugup. Satu tangannya yang berkeringat dingin menggenggam tangkai-tangkai bunga mawar putih. Sang ayah menepuk-nepuk kepalanya dengan santai.
"Tetap tenang, semua akan baik-baik saja." ucap pria itu menenangkan putrinya.

Aneska mengangguk kaku. Tapi walaupun ia sudah bersusah payah sejak sekian lama untuk menjadi santai, tetap saja dirinya tidak bisa mengontrolnya dengan benar di harinya.

Sementara di belakang mereka ada Louisa yang tampak cantik dengan balutan gaun dengan jubah bangsawan khas keluarga Atley. Lalu di sampingnya ada sosok Duke yang tak lain putranya sendiri sedang berdiri tegap menunggu pintu di depan mereka terbuka. Lelaki itu terlihat sempurna dengan pakaian yang melambangkan kekuasaannya khas seorang Duke kerajaan Victory.

Dan saat pintu yang sudah dihias sedemikian rupa terbuka, saat itu juga keempat orang itu sama-sama melangkah masuk. Ratusan pasang mata langsung menyorot bagaikan lampu sorot. Mereka berjalan di atas karpet yang sudah ditaburi kelopak bunga di dalam ballroom. Duke Atley dan Louisa berpisah dari Henley dan Aneska yang menaiki anak tangga menuju altar. Sepasang anak dan ibu itu mengambil tempat di barisan tempat duduk keluarga kerajaan dan para bangsawan tingkat tinggi.

Henley memindahkan tangan Aneska ke telapak tangan Putra Mahkota dari kerajaan Florst, Kenzoa Florst.
"Jaga putriku, dia yang kukasihi." kalimat singkat namun penuh makna dari Henley telah membuat mata Aneska berkaca-kaca.

"Aku berjanji." Kenzoa berkata dengan penuh percaya diri. Henley tidak mengatakan apapun selain mengangguk sebelum ia meninggalkan tempat itu untuk bergabung dengan istri dan anaknya.

Kenzoa membawa Aneska mendekati pendeta yang sudah menunggu mereka. Dan acara sakral itupun berlanjut dengan penuh haru dan keantusiasan. Tapi mungkin berbeda dengan sosok yang sedari tadi menyendiri di bagian belakang dan tidak terkena sorot lampu. Sosok Clarencia tetap tenang walaupun ia sedikit bosan. Gadis itu telah melihat keberadaan orang tuanya dari tempat ini, tapi ia tidak berani menampakan dirinya. Selain ia tidak suka keramaian, ia juga sudah merencanakan sesuatu. Jika ia menghampiri keluarganya sekarang, maka rencananya tidak akan berjalan mulus.

Ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk melarikan diri. Clarencia sempat cekikikan tidak jelas, membayangkan akan keluar dari tempat ini. Bahkan ia tidak akan melarikan diri dengan tangan kosong. Dengan hati berbunga-bunga ia menikmati kue-kue kecil di piringnya sembari menyaksikan acara pernikahan itu.

"Oh lihat siapa ini."

Clarencia melirik ke samping, ke seseorang yang berhasil menemukan tempat strategisnya.
"Oh halo, Bibi." dengan senyum manis penuh kepalsuan gadis itu menyapa Shiren yang ikut duduk di sampingnya. Tidak menjawab sapaannya, wanita itu lebih tertarik menilai penampilannya dengan teliti.

"Kau begitu makmur hidup di bawah Duke Atley." Shiren berucap dengan ketus.

"Bibi bisa melihatnya sendiri." Clarencia menjawab acuh tak acuh.

Shiren tertawa sembari melipat tangannya.
"Ah sayang sekali kau tidak menampakkan dirimu. Bukankah gaunmu sangat cantik dan begitu sia-sia jika tidak diperlihatkan kepada orang-orang?" ucap wanita itu dengan sisa tawa yang telah berubah dengan senyum sinis.

Clarencia mengangkat sebelah alisnya.
"Jika Bibi ingin mengenakannya untuk bisa memperlihatkannya kepada mereka, maka Bibi katakan saja. Kita akan bertukar gaun." kata-kata santai itu sengaja memancing amarah Shiren yang sudah lebih dulu panas.

Tapi wanita itu akhirnya bisa mengendalikan dirinya dan tidak terpancing oleh keponakannya sendiri. Shiren menatap ke depan, ke arah punggung yang kini sudah dikelilingi oleh para tamu undangan. Bibir wanita itu tertarik ke atas.
"Lihat Putriku, dia begitu berbakat bukan?"

Hai, Duke! Where stories live. Discover now