[6] Kenapa Urusan Putus Jadi Rumit?

270 61 11
                                    

SELAMAT HARI MERDEKA!

Update dalam rangka memeriahkan kemerdekaan :)

Mau dikomen dong biar nggak anyep.

oOo


Aku menyentakkan tangan Jeha, lalu melewatinya dengan langkah cepat. Mataku panas. Dadaku sesak. Tanpa kesulitan berarti, Jeha menyejajari langkahku. Dia berjalan mundur supaya bisa menatapku.

"Terharu ya?"

Ngeselin!

Manis gitu, Dra.

Buat lo sana!

"Siapa yang terharu? Hah?" Aku berkacak pinggang sambil menentang matanya. Namun, semakin lama berusaha menentang tatapan Jeha, mataku semakin berkabut.

Jeha mengangkat daguku dan menengadahkan kepalaku ke atas. "Dra, Dra, bintang-bintangnya bagus banget."

Elah, si Jeha sore-sore mana ada bintang.

Aku keki mampus. Ingin tertawa, tapi mataku berembun. Kepalaku melawan tangannya, tapi Jeha menahannya.

"Lihat terus. Lihat terus. Jangan sampai ada air mata jatuh," Tangan Jeha terlepas untuk menutup mulutnya, "Bintang jatuh maksud gue."

Aku menatapnya lurus-lurus. Kenapa Tuhan harus mengirim makhluk kayak Jeha di saat seperti ini?

Jeha menarik sudut bibirku hingga membentuk lengkung senyum paksa. "Jangan ditekuk, nanti cepat jadi tante kayak Aurora."

Seperti sebuah mantra, ketika nama Aurora disebut, HP dalam genggamanku berdering. Sekilas saja aku langsung tahu itu Aurora. Dia pasti mencariku. Cengkeraman tanganku mengetat dan mataku tidak bisa teralih.

"FYI, ada yang namanya fitur blokir. Apa lo nggak pernah dengar?"

Setiap getaran yang dihasilkan ponsel di tanganku seolah turut menggetarkan seluruh keberanianku. Di antara semua tempat, kenapa dia harus muncul di sekolah?

"Minta putus berkali-kali dari gue saja berani, masa angkat telepon Aurora nggak punya nyali?"

Mataku nyalang menatap Jeha.

"Sini biar gue yang angkat." Jeha mengulurkan tangannya.

Spontan aku menyimpannya di balik punggung. "Setop sok baik sama gue, Je!" Suaraku lantang, lebih lantang dari dugaanku.

Jeha yang tadi terlihat masih bisa bercanda, kini menatapku datar dan nanar. Sebersit rasa bersalah mampir ke kepalaku. Namun, Jeha tidak bisa terlibat lebih jauh dan tahu lebih banyak. Semakin dia peduli, semakin aku mau pergi. Semakin Jeha ingin membuatku tertawa, semakin aku merasa hidupku terlalu menderita hingga butuh dihibur.

"Jangan ikut campur. Jangan ngatur. Jangan bikin Aurora lebih marah dan gue yang harus nanggung akibatnya."

Dra, omongan lo nyakitin juga ya?

Aku bukan tidak sadar bahwa kata-kataku bisa melukai Jeha, tapi dengan cara apalagi aku bisa memintanya pergi?

"Aludra, gue cuma mau bantuin—"

"Apa gue minta dibantu? Apa gue kelihatan selemah itu di mata lo?" Aku tidak tahu kenapa aku menangis. Aku marah pada Jeha atau marah pada diri sendiri atas ketidakberdayaanku dan melampiaskannya pada Jeha? Sampai sini, apa kalian sudah bisa membenciku?

Yang baca nggak ngerti sama jalan pikiran lo, Dra.

"Aludra," suara Jeha terdengar perlahan, "gue minta maaf kalau cara gue salah. Gue cuma nggak mau Aurora seenaknya nyakiti lo—"

Mantan Rasa SetanWhere stories live. Discover now