[4] Kenapa Pengin Putus Kudu Drama Dulu?

324 67 15
                                    

Hi guys, seminggu nggak diupdate. 

My life is so suck lately, but i hope you're always be happy.

Semoga chapter ini ngobatin rindu halunya dan juga rindu masa mudanya :)


oOo


Pada akhirnya aku tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana Levin. Bantuan seperti apa yang aku mau? Ini ide Dasha. Aku tahu garis besar rencananya, tapi ternyata ngomong di depan Levin lebih sulit dari yang kukira. Apalagi kalau lagi berdua saja. Levin tidak mendesakku tadi siang. Dia cuma menungguiku sampai tenang, terus bawa balik ke kelas sambil berpesan, "Kasih tahu gue kapan pun lo butuh bantuan. Soal Jeha atau soal apa pun."

Akibat pernyataan itu, otakku blank sekarang. Langit-langit kamar tetap putih meski kupandangi bermenit-menit. Aku harus bagaimana dengan Levin sekarang?

Ketukan terdengar dari depan pintu kamarku.

"Masuk, Ma." Nggak ada orang lain di rumah ini selain aku dan mama. Jadi pasti mama yang mengetuk pintu.

"Surprise!" Mama tersenyum lebar di depan pintu. Tangannya menenteng sebuah kardus... laptop?

Mataku membulat kaget. Tubuhku langsung terbangun dari tidur. "Mama!"

Entah haru atau senang atau sedih, aku menghambur memeluk mamaku yang tertawa-tawa saja.

"Suka nggak?"

Tanganku masih enggan mengambil alih kardus laptop berwarna putih di tangan mama. Macbook Air. Ringan dibawa dan bentuknya yang tipis kusuka. Selama ini hanya diam-diam kuidamkan, tanpa berani meminta. Hati kecilku merasa tidak rela mama menghabiskan banyak uang. "Kenapa harus beli laptop baru sih? Yang kemarin kan, masih bisa dibenerin?"

"Ya nggak apa-apa, Dra, sekali-sekali."

"Sekali-sekali gimana? Dua bulan lalu Mama habis beliin aku HP. Sekarang laptop. Kenapa harus Macbook coba? Kan, bisa merek lain, Ma."

"Mama suka warnanya." Mama masih tersenyum lebar melihat reaksiku.

Aku mengerling. "Ya sudah buat Mama saja kalau begitu."

"Buat rekap pesanan nggak perlu yang canggih-canggih." Mama membawaku duduk di tepi ranjang dan meletakkan laptop dalam kardus putih itu di atas pangkuanku. "Mama kerja keras kalau bukan buat kamu, buat siapa lagi, Aludra? Mama nggak selalu bisa nemenin proses belajar kamu. Mama nggak selalu bisa ngajarin kamu. Tapi Mama bakal berusaha mendukung dan ngasih yang terbaik buat anak Mama satu-satunya." Tangan Mama mengelus kepalaku. "Supaya kamu bisa jadi orang yang lebih baik dari Mama."

"Mau yang lebih baik kayak apalagi sih, Ma?" Aku memeluk mama sambil menghirup wangi khasnya. Aroma yang selama belasan tahun menenangkanku, membuatku merasa begitu aman dan terlindung, tidak peduli bahwa di atas bahu yang begitu kuat itu tersimpan beban berat. "Mama sempurna buatku. Mama yang terbaik buatku." Aku mengetatkan pelukan, menyimpan air mata ke dalam serat kain pakaian mama. "Tolong jangan memberatkan diri Mama sendiri. Mama sudah banyak berjuang sendiri."

"Pokoknya kamu harus rajin belajar." Tangan mama menepuk-nepuk bahuku. "Berprestasi, lulus nilainya bagus, kuliah di tempat yang oke, dan kerja di tempat yang keren. Dengan begitu?"

"Nggak ada yang memandang kita sebelah mata." Aku mengedipkan sebelah mata. "Apa nggak capek ya matanya gini terus." Telunjukku tertuju pada mataku yang memejam sebelah.

Mama tergelak dengan recehanku lalu dia mengangguk-angguk puas. "Fokus!"

Aku mengangguk. "Fokus!"

Mama benar. Aku harus fokus belajar dan Jeha, selain bikin nggak fokus belajar dia juga sumber potensial segala macam gara-gara serta huru-hara. Nambah-nambahin pikiran saja. Oleh karena itu, aku mau putus darinya. BTW, ini alasanku ke berapa?

Mantan Rasa SetanWhere stories live. Discover now