***

Di kediaman Sagara.

Alat musik karawitan sedang dimainkan, bertalu mengeluarkan bunyi seirama yang khas. Para seniman itu sesekali saling menyerukan kegaduhan disela tarian yang ditunjukkan oleh salah satu penari jaipong yang sedang berlatih.

Bapak Bambang masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang keluarga.

Saga keluar dari kamar dengan tergesa-gesa, sepertinya ia hendak pergi ke luar karena sudah berpenampilan rapih.

"Saga, di mana ibumu?" tanya pak Bambang.

"Di dapur mungkin, Pak," sahut Saga seraya berlalu.

"Saga, mau ke mana kamu?" seru pak Bambang yang seketika menghentikan langkah putranya itu.

"Ke luar, Pak, mau ketemu teman," sahut Saga.

"Ke sini dulu, coba Bapak mau bicara," tukasnya.

Saga tertegun sesaat, ingin menghindari ayahnya karena tidak ingin mengobrol. Jika pun demikian, obrolan mereka hanya akan berakhir tanpa kepastian karena Saga hanya akan berlalu begitu saja. Merasa bosan dengan pembicaraan yang itu-itu saja, terutama kalau ditanya tentang kapan ia akan menikah.

"Bapak pasti ingin nanya kapan aku nikah, iya 'kan?" celetuk Saga terlihat malas di hadapan ayahnya.

Bapak Bambang menggeleng seraya mengukir senyuman. "Jangan kege'eran kamu, Jang! Siapa juga yang mau bahas masalah pernikahan, Bapak udah malas, ah, bahasnya juga. Udah duduk sini, Bapak mau bicara sebentar," pinta pak Bambang dengan lembut.

Saga merasa lega yang akhirnya duduk di samping sang ayah.

"Sebelumnya, Bapak mau minta tolong sama kamu."

"Minta tolong untuk apa, Pak?" Saga mengernyit.

"Selama ini kamu, 'kan, sibuk, Bapak ngerti kamu bekerja, tetapi Bapak mohon untuk minggu ini, kamu tolong luangin waktu untuk Bapak, ya. Bapak mau ajakkin kamu ke kondangan, mau, ya?" tawar pak Bambang dengan penuh harap.

"Hah? Ke kondangan? Nggak, ah, males!" Saga berpaling dan hendak beranjak dari duduknya.

"Eeh, ayo dong, jangan gitu ke Bapak, nanti Bapak nggak ada teman."

"Ya, Bapak sama mama aja, emangnya kenapa sih? Nggak usah ajakin aku." Saga pun beranjak dari duduknya.

"Yaelah ini anak, susah banget diajak pergi bareng keluarga. Kalau kamu jauh terus dari kami, orang-orang akan selalu bertanya di mana anaknya? Terus Bapak dan mama harus jawab apa, A'?" seru pak Bambang yang berusaha tenang dan sabar menghadapi putra bungsunya.

"Bapak ajak aja tuh a' Sam. Aku mau ke rumah teman, lagian hari minggu aku ada acara, pengen camping," ujar Saga.

Pak Bambang berdecak, menghela napas secara perlahan tidak ingin emosi menghadapi Saga yang memang selalu membantahnya.

"Yaudalah, terserah bapak supervisor saja," ketusnya dengan sindirian.

Saga menoleh memperhatikan ayahnya itu. "Baru saja jadi supervisior aja, udah sok sibuk nggak mau diajakin sama bapak sendiri. Lebih mentingin teman, selalu begitu," ujar pak Bambang sedang memprotes anaknya sendiri.

"Bapak, kok gitu, sih? Bapak nggak seneng, ya, kalau aku cuma jadi supervisior di pabrik?" Saga tertegun memandang ayahnya.

"Bapak seneng, anak Bapak udah kerja. Hasil dari jerih payahnya selama ini nggak sia-sia. Tapi, ya, Bapak cuma minta sedikit waktumu saja, apakah itu sulit?" ucap beliau terdengar lirih.

Saga menghela napas kemudian berpaling karena tidak ingin melihat raut wajah ayahnya yang kini tampak semakin murung, bagaimana pun juga ia tidak tega jika melihat orang tuanya terlihat bersedih seperti itu.

"Atau jangan-jangan, kamu tuh sebenernya udah punya calon? Atau kamu mau camping bareng pacarmu itu? Siapa? Coba bawa ke sini, ketemuin sama Bapak dan mama?" cecar pak Bambang.

Saga berdecak. "Nggak ada, calon apaan, dah!" sanggahnya.

"Eeh, Saga. Jangan suka mainin perempuan, nanti kamu kuwalat," tegur sang ayah.

"Ah, Bapak. Apaan sih? Siapa juga yang mainin perempuan. Orang aku mau camping sama teman-teman," protes Saga.

Pak Bambang mengernyit, "Saga, coba bicara sama Bapakmu ini, misalkan kamu suka sama seorang wanita. Siapapun itu, coba bicara dan kasih tahu ke Bapak. Nanti bapak bisa lamarkan untukmu, sok aja kasep, siapa kira-kira, kasih tahu bapak!"
(kasep = tampan)


Saga kini tertegun, memikirkan wanita mana yang hendak ia inginkan untuk jadi calon istrinya.

"Nggak ada, Pak!" tukasnya.

Pak Bambang kembali berdecak. "Terserah kamu ajalah!" pungkasnya.

Saga berpaling merasa malas dengan pembicaraan itu, karena hanya berujung pada pembahasan yang sama, yaitu tentang pernikahan.

"Atau jangan-jangan kamu tidak menyukai perempuan?" celetuk pak Bambang.

Saga sontak menoleh. "Maksud Bapak? Bapak nganggap aku ini nggak normal?" tuturnya.

Pak Bambang lantas tertawa hingga terbahak-bahak. Saga bergidig ngeri. "Iih, Bapak mah gitu ih ke anak sendiri juga."

Ia pun berlalu dari hadapan ayahnya dan berpapasan dengan sang ibu yang sedang membawa buku besar, di dalamnya terdapat banyak nama untuk daftar kondangan.

Ibu Nengsih kemudian duduk di samping suaminya. "Ada apa sih, Pak?" serunya.

"A' Saga ... ke sini sebentar," seru bu Nengsih.

"Udah, Mah, Bapak supervisior itu mau pergi katanya," sela pak Bambang disertai ledekan pada putranya sendiri.

"Mau pergi ke mana lagi, sih? Baru pulang ke rumah, bukannya diem di sini ngobrol malah pergi-pergi saja," cerocos bu Nengsih yang tengah sibuk memperhatikan daftar nama di tiap lembar buku kondangan itu.

"A' Saga ... ke sini coba, Mama mau ngomong!" seru bu Nengsih, tak lama kemudian Saga kembali.

"Ada apa sih, Mah?" Ia mengeluh dan duduk di kursi yang lain.

Bu Nengsih memandangnya. "Jangan dulu pergi, Mama mau ngomong!" titahnya, Saga terduduk pasrah.

"Hari sabtu kita berangkat ke rumah abah Koswara. Kata Abah, harus bawa sinden-sinden yang oke, katanya juga nanti si bungsu kepengen tampil mau nyumbang buat kakaknya yang jadi pengantin," ujar pak Bambang pada istrinya.

"Oh, si neng Senja ada di lembur?" tanya bu Nengsih. (lembur = kampung)

Saga mengernyit. "Ekhem ... kalian sedang ngomongin apa sih?" serunya yang sudah tidak segan pada kedua orang tuanya itu.

"A' Saga, mau ikut manggung? Libur dong dua hari, sekali-sekali pantau jaipongan coba. Sabtu-Minggu, ya, bisa ya?" tawar pak Bambang.

"Nggak, ah, nggak mau libur, baru aja masuk habis libur lebaran. Sayang uang lemburan," ucap Saga dengan sombongnya.

"Iya-iya ... terserah Bapak saja," ucap pak Bambang yang kerap kali meledek anaknya itu, sampai Saga mengeluarkan smirk sembari semakin menyombongkan diri.

Sementara bu Nengsih hanya menggeleng dan tersenyum melihat tingkah suami dan anaknya itu.

"Bukannya suaminya neng Senja itu teman kamu ya, A'?" Celoteh bu Nengsih, Saga menoleh pada ibunya.

"Si Jaka Sumantri kalau ketemu sering ngobrolin anaknya, katanya jadi supervisior di batu bara," sela pak Bambang.

Bu Nengsih menatap suaminya itu. "Terus Bapak jawab apa? Bapak nggak bicara kalau anak kita juga jadi supervisior di garment?" sambungnya.

Arjuna Senja√Where stories live. Discover now