Bab 10 : Pergi Bertiga

321 30 1
                                    

Setelah menjemput Greya dari sekolahnya. Arfan mengajak kami bermain ke Dupan, dia tahu saja, kalau aku memang suka bermain di tempat seperti ini. Tak ketinggalan kamera polaroid yang menggantung di leherku.

"Nda, itu apa? Itu kamera?" tanya Greya saat kami berjalan berdampingan saling berpegangan tangan, karena Greya sejak tadi ingin dipegang olehku. Aku sanggupi saja, toh mungkin orang-orang akan menganggap aku adalah Kakaknya.

"Iya, ini kamera. Greya, mau Nda fotoin?" gadis cantik itu langsung mengangguk antusias. Aku pun memintanya bersiap dan berpose sebagus mungkin.

"Lihat hasilnya cantik sekali." Aku menunjukkan hasil potretanku padanya.

"Wah langsung jadi," serunya semakin antusias. "Papa lihat, Nda fotoin aku. Aku cantik, kan?" tanya Greya menunjukkannya pada Arfan yang ternyata sudah berdiri di sampingku, padahal tadi dia berada di belakangku memperhatikan kami berdua.

"Iya sayang, kamu cantik," pujinya.

"Nda, Greya mau foto sama Nda. Ayooo," ajaknya menarik lenganku. Aku pun tidak bisa menolaknya dan menyerahkan kamera polaroid pada Arfan, memintanya untuk memotret kami.

"Siap, ya, satu... dua... tiga...!" Arfan mengambil potret kami dan hasilnya pun keluar. Aku bergegas menghampirinya dan ikut melihat hasilnya.

"Hasilnya bagus, lihat, Ge." Aku sedikit membungkuk untuk memperlihatkan hasil potret itu pada Greya.

"Bagus, Nda bagus. Sekarang ayo kita foto bertiga, ayoo..." Greya menarik paksa tangan kami.

Arfan langsung meminta tolong pada orang yang kebetulan tengah melihat ke arah kami sejak tadi. Kami pun bersiap untuk foto bersama layaknya foto keluarga. Astaga foto keluarga, aku merasa miris sendiri mengatakannya.

"Dekat sedikit, rangkul saja istri anda," seru juru foto itu. Ck, dia sok ngatur-ngatur banget sih.

Degh!

Aku menoleh ke sampingku saat merasakan tangan kekar merangkul pundakku, dan ternyata dia pun menoleh ke arahku hingga tatapan kami bertemu.

"Selesai!" ucapan itu menyadarkan kami berdua. Aku bergegas memberi jarak di antara kami. Dia juga tampak melepaskan rangkulannya di pundakku. Kami berjalan menghampiri orang itu dan melihat hasilnya. Bagus, tetapi aku dan Arfan malah tengah saling bertatapan seakan mau ciuman, astaga ada apa dengan isi kepalaku ini. Kenapa aku harus mikir mesum sih.

"Ih kok Papa sama Nda malah saling tatapan, Greya yang senyum sendiri," protes Greya.

"Kami tidak fokus," ucap Arfan. "Sudah, ya, sesi fotonya, kita naik wahana saja."

"Oke, Papa." Kami pun berjalan kembali, aku memasukkan hasil foto ke dalam tas.

Aku dan Greya menaiki beberapa wahana dan berhasil tawa kami keluar, bahkan jeritan juga saat menaiki wahana yang cukup menegangkan. Ternyata Greya pemberani, bukan anak penakut. Arfan terlihat hanya menunggu dan memperhatikan kami di bawah sana, layaknya seorang Ayah yang sedang memperhatikan anak-anaknya bermain.

Setelah menaiki tiga wahana, kami pergi membeli ice cream. Kali ini, Greya ingin naik ke wahana khusus anak-anak, aku memutuskan untuk melihat saja dari luar dan menghabiskan ice creamku.

"Kamu mirip Greya, kalau makan selalu belepotan," ucap Arfan dengan tangan yang tiba-tiba saja menyentuh sudut bibirku. Aku yang kaget karena perlakuannya itu, hanya bisa memandang wajah pria itu. Dia pun membalas tatapanku.

Dan untuk ke sekian kalinya, pandangan kami bertemu, netranya yang hitam pekat itu seakan menghipnotisku, membuatku tidak bisa lepas darinya.

"Ice creamnya sudah mencair," ucapnya yang mirip seperti bisikan dan seketika juga aku tersadar dari keterpakuanku, bergegas aku memalingkan pandanganku ke arah lain.

Ada apa denganku, kenapa aku selalu terhipnotis oleh tatapan teduhnya itu.

***

Setelah lelah bermain dan menikmati makan di luar, kami memutuskan untuk pulang. Greya sudah terlelap di jok belakang, dia pasti sangat kelelahan. Sesekali aku melirik ke arah Arfan yang fokus menyetir. Sebenarnya, aku penasaran dengan kehidupannya, kenapa dia bisa bercerai dengan mantan istrinya dan membesarkan Greya seorang diri.

"Ada apa? Kamu mau menanyakan sesuatu padaku?" tanyanya melirik ke arahku. Ck, apa dia seorang cenayang? Bagaimana bisa tahu kalau ada yang mau aku tanyakan.

"Tanyakan saja, jangan dipendam sendiri," ucapnya.

"Em, kenapa Mas Arfan bisa bercerai sama ibunya Greya?" Aku melihat ekspresi wajahnya menjadi tegang, mungkin dia tidak menyangka aku akan menanyakan hal itu.

"Mungkin kami sudah tidak cocok dan tidak berjodoh," jawabannya umum sekali. Padahal kan aku kepo banget sebenarnya kenapa. Apa karena selingkuh, apa karena masalah ekonomi? Tapi kalau masalah ekonomi sepertinya bukan sih. Arfan kan seorang CEO dan punya perusahaan sendiri.

"Ada yang mau di tanyakan lagi?" tanyanya.

"Hm, tidak."

***

Sesampainya di kamar, aku bergegas mengeluarkan hasil foto tadi siang. Aku menuliskan judul dan tahun di sana, setelahnya aku menempelkan satu per satu di dinding. Kenangan baruku mulai terbentuk satu per satu. Hari-hariku cukup menyenangkan karena kehadiran Greya. Mungkin kalau Arfan dan Greya tidak hadir dalam kehidupanku, saat ini aku masih akan menangisi kepergian Bima. Entahlah, apa aku harus bersyukur dengan takdir ini atau tidak.

Aku berdiri di depan dinding yang aku tempelin beberapa potret yang dicetak oleh polaroid. Mataku tertuju pada foto kami bertiga di mana aku dan Arfan saling bertatapan. Sebenarnya kalau di lihat-lihat, Arfan itu tidak terlihat seperti Om-Om kebanyakan. Dia masih terlihat seperti usia 25 tahunan. Mungkin kalau dia memakai setelan casual, akan terlihat lebih mudah.

Lamunanku terusik oleh sebuah pesan masuk. Aku mengambil ponselku dan melihat sebuah nomor Luar Negri. Aku tahu siapa pengirimnya ini.

[Hai Eve... Kenapa kamu tidak pernah membalas pesanku? Apa kamu benar-benar marah padaku? Aku sungguh minta maaf, Eve. Aku tidak bermaksud mencampakkanmu. Tolong balas pesanku, aku sangat merindukanmu... :*]

Apa kalau dia tahu sekarang aku sudah menikah dengan Pamannya, dia akan mengatakan hal-hal seperti ini padaku?

Sampai sebuah panggilan video masuk dari nomor tersebut. Bima berusaha menghubungiku dan melakukan panggilan video. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menerima panggilannya? Apa dia akan sadar, kalau saat ini aku berada di kamar Mas Arfan?

Sebuah notifikasi pesan masuk. Dan lagi-lagi dari Bima. Aku pun membuka pesan itu.

Bima [Ayolah Ev. Jangan marah terus seperti ini. Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu. Terimalah panggilanku, aku sangat merindukanmu. Jujur saja, aku kini merasa menyesal karena tidak melangsungkan pernikahan lebih dulu. Mungkin kalau kita menikah dulu dan pergi ke Turki, kita akan sangat bahagia di sini, Eve.]

Membaca itu, air mataku luruh membasahi pipi. Kenapa baru sekarang kamu menyesal dan mengatakan hal ini, Bim? Setelah semua yang terjadi, dan sekarang aku terjebak dengan pernikahan ini karena kamu, Bima.

Pesan masuk kembali. [Ev, ada jeda selama dua minggu sebelum perkuliahan dimulai. Sepertinya aku bisa pulang ke Indonesia. Dan ayo kita langsungkan pernikahan yang tertunda sebelumnya. Kali ini aku janji tidak akan meninggalkannya lagi].

Degh!

***

Jodohku, Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang