Bab 2 : Melepasnya Pergi

452 39 1
                                    

"A-apa maksud kamu?" Aku tidak paham dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Bima.

"Bisakah pernikahan kita di batalkan?"

"Apa maksud kamu, Bima? Kamu mau mempermainkanku dan keluargaku?" aku memekik dan berdiri dari dudukku tanpa sadar karena kesal.

"Eve, aku punya alasan kenapa begini. Aku tidak berniat mempermainkanmu. Aku benar-benar mencintai kamu," jelas Bima berdiri dari duduknya dan kini berhadapan denganku.

"Alasan apa?"

"Kamu tahu kan aku sangat ingin melanjutkan studiku ke Turki untuk mengembangkan karierku. Dan ternyata pengajuanku dua bulan lalu di terima. Aku di terima masuk untuk menjadi mahasiswa di Turki. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku harus berangkat sekarang juga dan mulai hari Senin, aku sudah bisa mulai belajar," jelas Bima.

"Apa bagimu perasaanku ini tidak penting? Aku memilih mengorbankan aku? Pernikahan kita?" aku tidak habis pikir dengan pemikiran pria di depanku ini.

"Bukan begitu. Kamu juga sama pentingnya bagiku. Aku ingin menunda pernikahan kita, tunggu aku kembali, hanya dua tahun saja. Tunggu aku kembali," ucap Bima berusaha membujukku. Kepalaku berdenyut dan rasanya hampir meledak. Bagaimana bisa dia berkata semudah itu.

"Kamu pikir mudah membatalkan pernikahan yang sudah 98% ini?" aku memikirkan kedua orang tuaku yang sudah begitu sibuk dan mengusahakan segalanya untuk pernikahan ini.

Ayah yang seorang pedagang ikan dan ayam di pasar internasional Jakarta harus banting tulang dan bahkan berjualan hingga malam untuk mengumpulkan uang demi acara pernikahanku ini. Dan Bunda, yang mencari sambilan dengan berjualan kue kering untuk mencari tambahan biaya. Dan sekarang pria di depanku ini dengan mudahnya berkata untuk membatalkan pernikahan. Lalu bagaimana aku harus bicara pada kedua orang tuaku? Mereka pasti akan sangat kecewa.

"Eve? Aku tahu kamu marah sekaligus kesal. Tapi ini demi masa depan kita," ucap Bima.

"Masa depan kita? Mungkin lebih tepatnya masa depanmu, Bim." Aku sekuat tenaga menahan air mata sialan ini, tetapi tetap saja jatuh membasahi pipi tanpa bisa aku tahan.

"Kalau hari ini aku tidak datang, apa kamu berniat menjelaskannya padaku? Atau kamu akan menghindar dan pergi begitu saja bagai seorang pengecut!" terlihat wajah Bima berubah menjadi sayu dan merasa bersalah.

"Aku hanya belum siap bicara denganmu. Aku mencari waktu yang tepat untuk bicara denganmu," jawabnya dengan suara lirih.

"Waktu yang tepat setelah kamu pergi, begitu?"

"Maafkan aku."

"Apa kamu benar-benar harus pergi?" aku berusaha untuk membujuknya. "Apa tidak bisa setelah kita menikah saja, pernikahan kita 3 hari lagi loh, Bim."

"Maafkan aku Eve. Aku tidak bisa, aku harus pergi hari ini karena besok harus sudah mengurusi administrasi ke kampus," jelasnya.

"Kamu mau mencampakkanku begitu saja?" aku sudah tidak peduli lagi dengan air mata yang tidak bisa berhenti ini.

"Bukan begitu. Aku tidak punya pilihan lain, aku ingin kamu mengerti kondisiku. Aku akan kembali dua tahun lagi dan kita bisa melangsungkan pernikahan," ucap Bima.

Aku ingin membujuknya lagi, tetapi perkataanku dihentikan oleh suara orang tuanya Bima yang keluar menghampiri kami.

"Sudah waktunya," ucap Om Darmawan, Om Darmawan. Sepertinya orang tua Bima juga mendukung keputusan putranya. Lalu bagaimana denganku?

"Adzkiya, kamu mau mengantar Bima ke bandara? Kita bicara lagi di dalam mobil, gimana?" tanya Tante Anis, Mamanya Bima. Aku benar-benar bingung dan tidak paham. Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku menurutinya.

***

Saat ini kami menuju ke bandara, aku tidak menyangka bahwa kedatanganku ke rumah Bima adalah untuk mengantarnya pergi. Aku pikir tidak akan terjadi hal seperti ini.

Dan pernikahan kami? Entahlah, aku tidak tahu. Tante Anis berkata akan datang ke rumahku bersama keluarga besarnya untuk berbicara dengan kedua orang tuaku. Beliau bilang biar para orang tua saja yang mengurus pernikahan ini akan bagaimana selanjutnya.

Aku merasa benar-benar tak dianggap oleh mereka. Dan perasaanku benar-benar kacau saat ini.

"Eve," panggilan seseorang yang duduk di sampingku menyadarkan aku dari segala macam pemikiran yang mengusik dikepalaku. Aku mengusap air mata di pipi sebelum menoleh ke arahnya.

"Hmm?"

"Maafkan aku," ucapnya dan aku tidak menjawabnya. Aku masih sangat kesal sekali dan juga aku tidak ingin dia pergi. Hatiku benar-benar kacau balau saat ini.

Mobil sudah menepi di area parkir bandara. Mereka satu per satu menuruni mobil. Aku pun mengikutinya, aku berjalan berdampingan dengan Bima yang terlihat sendu, mungkinkah dia merasakan hal yang sama denganku? Lalu kenapa dia tetap memilih untuk pergi?

Kami sampai di tempat pengantaran, karena selanjutnya adalah akses dengan menggunakan tiket.

"Eve, aku benar-benar minta maaf. Pernikahan kita harus batal," ucapnya terlihat sendu, aku tidak bisa berkata apa-apa selain hanya air mataku yang jatuh membasahi pipi.

"Aku janji akan selalu menghubungimu. Kamu tunggu aku, yah," ucapnya.

Aku masih tidak bisa mengeluarkan suaraku. Bima mengusap air mata di pipiku. "Berhenti menangis."

Bima juga mengusap kepalaku sebelum akhirnya berpamitan pada kedua orang tuanya. Dia melihat kembali ke arahku hingga tatapan kami kembali bertemu, ia pun menghela nafasnya seraya menundukkan kepala.

"Aku pergi," ucapnya dan berjalan meninggalkanku begitu saja.

Tega kamu Bima!

Jahat kamu!

Kamu meninggalkanku begitu saja!

Aku masih memperhatikannya yang kembali menoleh ke arah kami diiringi senyuman khasnya. Kemudian dia melambaikan tangannya di udara ke arah kami. Hatiku begitu sakit juga sesak hingga air mata ini tak urungnya berhenti. Aku ingin berlari mengejarnya dan menahan Bima untuk pergi, aku ingin kami melanjutkan pernikahan kami. Hatiku sangat sakit dan seperti di hempaskan dengan kencang dari atas gedung tinggi. Tapi kenapa, aku malah tidak berdaya seperti ini. Aku ingin menahannya, tetapi dia ingin pergi dariku.

"Adzkiya," sentuhan lembut di pundak mengalihkan netra ini dari Bima ke seseorang di sampingku. Aku menghapus air mataku yang ke sekian kalinya. Aku tidak tahu bagaimana kacaunya wajahku sekarang.

"Iya Tante,"

"Kita pulang, yah."

Aku baru sadar kalau sekarang Bima sudah menghilang dari pandangan kami.

"Baiklah."

Aku berjalan tak bertenaga menuju ke arah parkiran. Tante Anis dengan lembut merangkulku dan terus mengatakan hal-hal positif untuk menghiburku. Dia juga seakan ingin aku mengerti dan mendukung keputusan Bima. Tapi kenapa tidak ada yang mengerti perasaanku.

Aku tidak mengerti dengan pemikiran mereka. Kalau memang ingin anaknya pergi sekolah, kenapa harus menyetujui pernikahan ini. Dan sekarang dengan mudahnya membatalkan tanpa memikirkan pihak lain yang sudah jelas sangat dirugikan. Aku mungkin hanya terluka dan sakit hati. Tapi orang tuaku? Mereka rugi tenaga, uang, harga diri dan hatinya. Kenapa orang-orang kaya ini, begitu meremehkan kami yang hanya orang biasa.

***

Jodohku, Sugar DaddyWhere stories live. Discover now