Bab 5 : Status Baru dengan Orang Asing

422 39 0
                                    

Selesai acara, aku dan SUAMI ku tidak menginap di hotel. Kami memutuskan pulang ke rumahnya, karena dia tidak ingin meninggalkan putrinya. Kami telah sampai di kawasan perumahan elite di Jakarta. Mobil memasuki sebuah rumah minimalis berlantai dua dan terlihat mewah.

Tanpa berkata apa pun, aku menuruni mobil mengikutinya. Dia terlihat menggendong putrinya yang terlelap di jok belakang mobil.

"Selamat atas pernikahan kalian. Tuan, Nyonya," ucap asisten rumah tangga yang tadi membukakan pagar rumah.

"Terima kasih Bi Atun. Bi, tolong antarkan Kiya ke kamar, saya akan mengantar Greya ke kamarnya dulu," ucapnya.

"Mari Nyonya, saya antarkan."

"Panggil Kiya saja, Bi."

Aku berjalan mengikuti wanita gemuk itu, usianya berkisar 40tahunan lebih.

"Tidak bisa begitu. Anda adalah istri tuan, saya mana berani memanggil nama anda begitu," kekehnya.

"Baiklah. Terserah Bibi saja." Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Ngomong-ngomong, rumahnya sangat aesthetic. Seperti rumah-rumah mewah di drama Korea. Sayangnya, tidak begitu banyak ruangan juga furnitur. Menurutku barang-barang yang ada di rumah ini adalah barang utama yang dibutuhkan. Benar-benar tidak ingin ada sesuatu yang mubazir.

Kami kini tengah menaiki undakan tangga, Arfan sudah pergi lebih dulu.

"Kamar anda dan tuan di sebelah sini," ucap Bi Atun membukakan pintu.

"Eh?"

Aku cukup kikuk mendengar Bi Atun menyebut kamarku dan pria itu.

"Kamar nona Greya, ada di sana, dan kamar tamu ada di bawah," ucapnya menunjuk kamar yang berseberangan dengan kamar ini.

Di lantai dua juga tidak banyak barang. Hanya saja di balkon terlihat kolam renang dan beberapa peralatan olahraga. Dinding yang menjadi penghalangnya, jendela yang sangat lebar. Di rumah ini lebih banyak dinding kaca, membuatku ngeri sendiri kalau-kalau ada hantu yang muncul.

Ah, efek keseringan nonton film horror jadi parno sendiri. Padahal rumah ini sangat aesthetic.

"Nyonya," seru Bi Atun menyadarkan lamunanku.

"Eh iya Bi. Aku akan masuk." Aku menampilkan senyumanku.

"Koper Nyonya saya simpen di sini," ucapnya menyimpan koper milikku di dekat pintu.

"Baik, terima kasih."

Aku menutup pintu setelah kepergian Bi Atun. Kamar itu tidak begitu besar. Tetapi terlihat begitu bersih dan rapi. Aku menggerek koperku ke sudut dekat sofa. Aku duduk di atas permadani dan membuka koper. Di sana ada kamera polaroid berwarna maroon milikku.

Kamera yang menjadi saksi hubunganku bersama Bima. Walau kamera itu sebenarnya adalah kado dari Ayah saat aku berusia 17 tahun. Tetapi kamera ini sudah banyak menangkap dan mencetak setiap kenanganku bersama Bima. Kali ini semua itu harus berubah, entah kenangan dan momen apalagi yang akan tertangkap dan di abadikan oleh kamera ini.

Aku memang memiliki hobi memotret, dan lebih suka menggunakan kamera polaroid ini, karena bisa langsung mencetak apa yang ditangkap oleh kamera.

Aku menyimpan kamera itu di dalam koper lagi dan mengambil pakaian tidurku. Aku bergegas menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rasanya badanku lengket dan lelah sekali.

Ah kamar mandi ini benar-benar kamar mandi manly, hanya peralatan pria yang ada di sana dan perpaduan cat dinding berwarna abu. Tetapi kamar mandi ini sangat bersih untuk ukuran seorang pria. Walau kecil, tetapi di dalamnya terdapat bathup dan ruang shower.

Sepertinya, aku ingin berendam untuk sesaat menghilangkan rasa pegal dan lelah di badan.

---

30 menit sudah aku menyelesaikan ritual mandiku, ah rasanya segar sekali. Aku berjalan keluar kamar mandi seraya menggosok rambutku yang basah dengan handuk.

"Ah!"

Aku memekik kala melihat seseorang duduk di atas sofa tepat menghadap ke arahku. "Eh, itu-"

"Kamu tidak perlu tegang begitu," ucap pria itu yang tak lain adalah Arfan.

Kenapa dia ada di sini? Ah sial, ini kamarnya juga, kan? Dan sekarang kami satu kamar, apa dia akan melakukan itu? Dia akan langsung menagih jatahnya sebagai seorang suami.

Menggeranyamku? Sungguh menggelikan membayangkannya saja.

"Saya tidak akan melakukan apa pun terhadapmu," ucapnya.

Bagaimana dia tahu apa yang sedang aku pikirkan, apa karena barusan aku menatap ranjang.

"Kiya, bisakah kamu duduk di sini. Saya perlu bicara denganmu," ucapnya.

Aku pun berjalan mendekatinya dan mengambil duduk di sofa yang cukup jauh darinya. Ia terlihat tersenyum kecil dan menatap ke arahku.

"Saya tahu pernikahan kita ini tidak di inginkan. Saya juga tahu kamu belum bisa menerima saya sebagai suamimu," ucapnya terlihat begitu tenang. "Saya tidak akan melakukan apa pun terhadapmu, dan saya juga tidak akan membuat kamu tidak nyaman dengan kehadiran saya di sini. Untuk sementara saya akan tidur di kamar Greya, dan kamu bisa gunakan kamar ini."

"Kiya, bagaimanapun kita sudah menjadi suami dan istri dan saya harap kamu bisa lebih terbuka dan katakan apa pun yang kamu butuh kan. Saya pasti akan memenuhi segala keperluanmu," jelasnya. "Dan satu hal lagi, jika suatu saat Bima kembali, dan kamu ingin kembali bersama dengannya, aku akan melepaskanmu. Kamu cukup katakan saja, dan saya akan mengurus perceraian kita. Saya tahu kamu mencintai Bima, dan saya tidak akan menjadi penghalang bagi kalian."

Dia? Kenapa dia berkata seperti itu. Lalu kenapa dia menikahiku? Apa dia sama sekali tidak mengharapkan apa pun dariku.

"Kamu sepertinya tidak nyaman. Kita bisa bahas yang lainnya pelan-pelan. Saya harap kamu bisa betah dan nyaman tinggal di sini. Dan saya harap, kamu juga bisa beritahu saya atas apa yang kamu akan lakukan dan akan pergi ke mana saja. Bagaimanapun saya bertanggung jawab atas keselamatanmu," ucapnya.

"Baik." Aku tidak tahu harus menjawab apa. Hanya bisa berkata seperti itu.

"Untuk barang-barangmu, saya sudah mengosongkan lemari dan juga tempat makeup. Kamu bisa menatanya di sana."

"Baik."

"Kamu bisa minta tolong Bi Atun untuk membantumu."

"Iya."

Dia kembali tersenyum, mungkin karena aku menjawab dengan singkat.

"Baiklah, kalau tidak ada pertanyaan, kamu istirahatlah. Saya tidak akan mengganggu lagi. Saya hanya hendak membawa beberapa peralatan mandi dan pakaian saya," ucapnya beranjak dari duduknya.

Setelah mengambil semua yang dibutuhkan, ia pun bergegas keluar dari kamar.

"Oh iya, keringkan rambutmu sebelum tidur. Jangan tidur dalam keadaan rambut basah, kamu bisa pusing," ucapnya kemudian keluar dari kamar setelah suara pintu tertutup.

Apa maksudnya barusan? Apa itu sebuah perhatian kecil darinya? Tetapi kenapa aku harus menurutinya untuk mengeringkan rambut yang bahkan tidak pernah aku lakukan.

Tapi ucapannya tadi cukup menenangkanku, setidaknya dia tidak akan menggeranyamku, bukan? Aku aman untuk sekarang.

Mengenai Bima, apa mungkin dia akan menerimaku kembali, di saat sekarang statusku adalah Tantenya. Lucu memang takdir ini, pacaran dengan keponakannya, menikah dengan Omnya.

Benar-benar sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan.

***

Jodohku, Sugar DaddyWhere stories live. Discover now