[ 11 ] : pertengahan jalan

118 22 4
                                    

Nampak laki-laki dengan wajah pucat tengah terduduk di bawah pohon seberang Masjid Raya dengan pandangan kosong menatap ke arah kendaraan dan pejalan kaki yang terus berlalu lalang.

Debu pekat yang menyesakkan dari kendaraan serta bau busuk yang menyengat dari mayat-mayat yang belum dikuburkan sama sekali tak ia pedulikan.

Sudah hampir satu hari ia tak beranjak dari tempat duduknya demi menunggu sesuatu yang belum pasti akan hidup dan mati.

Namun, ia begitu yakin jika sang ayah dan saudaranya pasti selamat sebab berlari lebih dulu untuk menyelamatkan diri kebukit sana bersama yang lainnya—Berbeda dengan dirinya yang malah memutar balik karena ragu untuk meninggalkan orang yang bahkan notabennya bukanlah teman dekat.

Detik itu pula tenggelam adalah hal yang tak dapat dihindarinya, pikiran itu langsung terpaku kala ia siuman didekat puing bangunan yang berserakan di setiap pandangan, menelisik ke sagala arah untuk mencari sosok laki-laki dan anak perempuan yang diselamatkannya.

Langkahnya ia tuntun untuk mencari dengan kondisi tubuh yang tak terbilang baik karena banyaknya luka akan benturan dan goresan. Mengangkat puing bangunan dengan air mata yang berderai tanpa sadar.

Tubuhnya mendadak bergetar dengan rasa bersalah yang hinggap pada dirinya karena menyesal tak menarik paksa laki-laki yang sudah ditunggu oleh adik yang berharap akan keselamatannya disana.

"Menunggu siapa, dek?"

Keano menoleh perlahan dan mendapati salah satu tentara yang bertugas duduk disebelahnya dengan peluh bercucuran, pandangan Laki-laki itu menatap ke arah rekan-rekan yang juga beristirahat sejenak setelah mengumpulkan beberapa mayat untuk dibawa dan dikebumikan bersamaan dibawah teriknya matahari.

"Nunggu ayah sama adek." Singkatnya dengan parau.

"Ibumu?"

"Saya gak punya ibu."

Laki-laki itu mengangguk paham akan perasaannya, mengipasi diri dengan topi yang dikenakan sejenak sebelum kembali bertanya.

"Ibumu pergi sebelum atau setelah kejadian ini?"

"Sebelumnya dan setelah tiga bulan ditinggalkan, saudari saya ikut meninggal karena kecelakaan."

Pandangan itu langsung ia alihkan kepada wajah murung Keano, semesta anak ini hanya tersisa dua orang yang terbilang sangat berharga dan entah akan bagaimana jika keduanya ikut pergi menyusul sang ibunda dan saudarinya.

"Kamu yang kuat ya, mungkin gak hanya keluarga saja yang kamu cari disini—sedih pastinya, apalagi sosok berharga seperti mereka yang masih belum diketahui dimana keberadaannya."

Keano sedikit menunduk dengan kepala mengangguk paham akan keadaan, ia paham jika saat ini tak hanya dirinya saja yang merasa kehilangan.

"Kakak? Ada nyari orang juga?" Tanya Keano ragu akan panggilan.

"Gak usah sungkan panggil nama doang pun gak apa-apa, saya disini habis nyari ibu sekalian bertugas. Singkat cerita semalam sebelum kejadian beliau nelpon dan bilang kalau dia seneng banget akhirnya besok bakal nginjakin kaki ke ibukota, beliau bilang mau peluk erat-erat putra satu-satunya yang udah gak dia temuin selama 4 tahun—tapi sekenario tuhan malah mutusin pertemuan kita."

Keano mendengarkan dengan baik, raut wajah laki-laki berseragam itu nampak tenang namun getaran matanya tak bisa berbohong akan rasa sakit yang menusuk dalam di hatinya.

"Kamu masih punya dua semesta yang berharga di dunia ini, meski belum ditemukan dimana semesta itu menghilang kamu harus tetap sabar dan mau mencari karena harapan gak selalu sama seperti kenyataan yang ada. Boleh berharap tapi jangan terlalu berharap dan juga jangan terlalu menaruh kecewa atas apa yang akan terjadi kedepannya—disaat seperti ini keikhlasan adalah hal utama yang harus dipegang, sedih boleh tapi jangan berlebihan."

Laut Saudara || Boys Planet LokalWhere stories live. Discover now