[ 05 ] : sebuah harapan

199 34 6
                                    

"Om, bus bus apa yang idup nya flat banget alias gak seru abieezzz."

Sudah cukup, Haris lelah menanggapi ocehan Arkana yang super random dan tak bermakna. Gavin sebagai temannya pun hanya bisa duduk menonton perdebatan tak jelas ini sembari menyantap gorengan hangatnya.

Haris agak curiga dibuatnya, sebab sedari tadi anak itu hanya diam tanpa suara sambil mengemil makanan yang ada. Sudah diprediksi jika sebentar lagi akan ada perdebatan yang lebih tidak bermakna lagi.

Dan ya, Haris hanya bisa menghela kala Gavin benar-benar mengeluarkan suara, paginya yang damai benar-benar sudah tak ada harapan.

"Tayo gak sih?"

"Mabok gorengan lo jawab tayo, tayo mah idupnya makmur happy selalu."

"Ya siapa tau happy nya cuman kepaksa buat menghibur diri karena beban kerja,"

"Maaf ya om, ni anak rada ngaur gara-gara kena friendzone."

Gavin yang mendengar jelas tak terima, mendelik dengan kesalnya kepada Arkana dengan alis yang ia naik turunkan guna menggoda. Manusia ini tak bertingkah sekali saja mungkin akan langsung meriang sampai uring-uringan.

"Orang yang suka nyebar fitnah kayak gini biasanya panjang umur."

"AAAAMIIIIN!"

Gavin melengos dengan Haris yang menggeleng lelah sambil menyeruput teh hangat buatan Arkana yang entah ada angin apa anak itu mau disuruh pagi-pagi ini.

Hari ini warung tak terlalu ramai untungnya, biasanya di pukul delapan atau sembilan pagi warungnya akan seramai pasar karena jamnya ibu-ibu mengantri membeli barang dagangan untuk warung kecil-kecilan.

"Om, gak ada niatan nyari istri kah? Biar ada yang masakin gitchu di rumah biar gak ibu om melulu yang masakin, udah gede kok masih aja jadi beban."

Haris tak terkejut, saking biasanya ia sudah kebal dengan perkataan Arkana yang tak pernah berkaca. Meski faktanya ia sedikit tak terima.

"Nunggu kalian nikah duluan terus angkat kaki dari sini baru om mau nikah, biar nanti kalau punya anak gak ketularan gilanya."

"Kita tuh gak gila sebenernya! Kita cuman menghibur diri biar gak cuman semesta aja yang ketawa," bela Gavin.

"Si Dika aja yang angkat kaki dari sini, kalau Arka yang angkat kaki dari sini ni komplek pasti bakal sepi se sepi hati om yang belum beristri." Tambah Arkana.

Cukup puas ia mendengar Arkana yang sering membuly kesehariannya seperti ini, mau marah pun tak bisa karena anak-anak inilah yang sering menemani dan membantu dirinya di kala para pegawai tak ada.

Memang benar apa yang dikatakan Arkana, jika dua remaja nakal ini tak ada, komplek akan benar-benar sepi karena kehilangan dua biang rusuhnya. Bahkan sepertinya, di malam hari pun tak akan ada kebisingan dengan rasa prustasi di bukit sana.

Teriakan anak-anak yang memendam segala amarah yang tak bisa di utarakan dengan bebasnya.

"Vin, Vin, menurut lo Pororo itu cicak apa biawak?"

Haris yang merasa lelah pun memilih pergi dari hadapan mereka untuk menyibukkan diri daripada mendengarkan celotehan Arkana yang menyesatkan.

Gavin dengan kepintaran nya langsung menjawab sambil menyolot, "Kadal anjir! Sejak kapan Pororo jadi cicak sama biawak!"

"Ya lo pikir sejak kapan Pororo warnanya berubah jadi ijo?!"

"Lah? Pororo kan emang ijo! Masa lo gak tau, temennya si pinguin itu kan namanya Pororo."

"Sip, sesuai ekspektasi, pinter banget temen gweh!"

Laut Saudara || Boys Planet LokalWhere stories live. Discover now