[ 09 ] : nasib yang sama

130 25 9
                                    

Dua puluh tujuh menit pasca gempa selesai akhirnya Damian membuka mata, mengerjap sejenak dan menolehlah ia ke sebelah di mana biasa sang kakak mengisi kekosongan di sana.

Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya dilanda oleh rasa pening karena ocehan Gunadhya yang ternyata masih ada setia menemaninya.

Anak itu tak melihat situasi dan langsung saja mengomel sambil bercerita jika sang kakak sempat menelpon kepada nya guna memastikan apakah adiknya baik-baik saja atau tidak, namun ia memilih satu-satunya jalan yang tak lain adalah berbohong.

"Lo tau gak sih gue sampe deg-degan banget pas bilang kalau lo baik-baik aja dan cuman kena panik ringan terus lagi diperiksa sama dokter kek—gue gak tau lagi ngomong apaan sama abang lo anjing."

"Lo diem dulu bisa gak sih? Mana Gunadhya yang baik-baikin gue tadi?"

"Ah malesin lo."

Damian tak merespon, anak itu malah memejamkan mata untuk menetralkan napasnya yang masih terasa sedikit sesak.

"Yan? Lo gapapa, kan?"

"Gapapa, terus respon abang gimana pas lo bilang gitu?" Alihnya sambil menatap wajah yang sok berpikir itu.

"Gue denger dia kayak ngehela napas lega gitu terus bilang gini 'yaudah makasih ya Nad, tolong temenin dulu bentar selagi abang gak ada' emang dia lagi pergi ke mana?"

kerlingan Damian berikan, "Abang gue gak pengangguran kayak lo ya! Dia balik ngambil baju ganti abis tuh langsung pergi kerja."

"AH! Gue sampe lupa saking seringnya dia nemenin lo."

Damian lagi-lagi tak menjawab, pandangannya menatap ke arah jendela dengan pemandangan seperti biasa.

Entah kenapa rasanya begitu gelisah sejak sang kakak pergi meninggalkannya sendiri, biasanya ia tak pernah segelisah ini meski ditinggalkan berhari-hari.

"Yan, gue balik dulu ya, mama udah nelpon soalnya." Damian kembali menatap Gunadhya sambil mengangguk mengiyakan.

"Yaudah sana, sama sekalian titip salam buat mama."

"Hati-hati nya mana?"

"Dih najis lo, balik cepet sono!"

Tawa keluar dari bibirnya sebelum benar-benar pergi meninggalkan sobatnya sendiri, Gunadhya begitu suka sekali mengisengi anak laki-laki ini.

"Yaudah ya, babay Dami nanti kita ketemu lagi."

"Ya."

Lambaian itu ia balas sampai di mana Gunadhya betulan hilang dari pandangannya.

Keheningan kembali terasa dengan dirinya yang kembali kepada kesendirian dan hanya di temani oleh layar monitor serta selang infus yang tak pernah jauh dari tangannya.

Sejujurnya Damian agak bosan berdiam diri di ruangan, rasanya ingin kembali keluar diam-diam namun mengingat ia pernah tertangkap basah karena menangkring di atap sampai dimarahi dokter dan tambahan dari sang kakak—jelas membuatnya langsung mengurungkan niat.

Ke anehan terlihat dikala netranya menatap lekat ke arah pantai di kejauhan, sampai tersadar akan apa yang terjadi hal itu jelas membuatnya panik kembali.

Selang infus ia cabut tanpa berpikir, langkah lemasnya ia bawa untuk berlari keluar dan berhenti tepat di salah satu jendela yang terbuka.

Matanya menemukan Gunadhya yang sudah berada di bawah sana yang juga menoleh kearahnya, senyuman itu merekah dengan lambaian tangan serta seruan sebelum anak itu betulan lari ke parkiran.

"GUE JENGUKIN LAGI NANTI SORE!! DADAH!"

"JANGAN PULANG NAD! NADHYA!! GUNADHYA!!"

Kepanikan semakin menyerang dirinya, keringat dingin membasahi keningnya disaat air laut yang nampak begitu tinggi terus datang mendekat untuk menyapu daratan.

Laut Saudara || Boys Planet Lokalحيث تعيش القصص. اكتشف الآن