[ 03 ] : skenario semesta

222 41 8
                                    

Adya putra lelaki dengan balutan kaos putih itu duduk di bangku atap rumah sakit sambil menunggu Zidan—sahabatnya—datang di bawah teriknya sinar matahari.

Ia sedikit kalut akan hal apa yang membuat seorang Zidan kalang kabut saat menelponnya untuk datang dan menunggunya di atap rumah sakit.

Derap langkah itu terdengar, Adya langsung menoleh dan berlari ke arah sang empu sembari melempar tanya.

"Ada apa? Dami kenapa? Dia gak kritis lagi kayak waktu itu kan?"

Bukannya menjawab Zidan malah mendesah pelan, membawa dirinya melangkah kembali ke tempat duduk yang Adya tempati sebelumnya.

Tangan itu mengusap-usap wajah dengan resah, air mukanya nampak sendu saking prustasinya menghadapi ujian yang telah tuhan berikan.

"Gue harus lakuin apa lagi sekarang, Dya? Kalau didesak kayak gini caranya gue gak mampu buat bayar biaya donor jantungnya Damian."

"Kenapa tiba-tiba? Dami beneran kritis? Lo—coba lo jelasin dulu biar gue nya paham."

Lagi-lagi bukannya menyahut Zidan malah menundukan diri dan terisak begitu saja. Isakan yang pertama kalinya Adya dengar dan lihat saat ini, jelas membuatnya panik dan kebingungan.

Pasalnya, selama ia berteman dengan laki-laki di sebelahnya ini, tak pernah sekalipun Adya mendengar keluhan keluar dari bibir Zidan meski seberat apapun cobaan yang tengah dihadapinya.

"Kenapa? Tolong kasih tau gua ada masalah apa?"

rasanya seperti ada belati yang menancap tubuhnya. Tangan yang memegang bahu itu dibuat lemas karena mendengar penuturannya.

"Dami ... dia tau kalau dia gak bisa bertahan lebih lama lagi, Dya. Sekarang gue harus gimana? Dia bahkan nyuruh gue buat berhenti ngumpulin uang buat biaya operasinya, gu-gue gak siap buat kehilangan Damian secepat itu."

Adya diam membisu, rasanya begitu amat tak terima akan skenario semesta. Jahat, semesta begitu jahat kepada Zidan dan Damian.

Meski Damian bukan saudara kandungnya, Adya begitu menyayangi Damian seperti adik kandungnya sendiri.

Sebab berkat Damian lah ia dapat merasakan hidup sebagai seorang kakak dan keluar dari zona kesepian yang dirasakan oleh kebanyakan anak semata wayang.

Sungguh, menjadi seorang anak tunggal bukanlah perihal menyenangkan, hidup dikelilingi dengan rasa kesepian dan tak bisa pergi kemanapun karena larangan orang tua.

Kebebasan baru saja ia pegang karena satu alasan yaitu Damian. Namun kini, rasanya begitu sakit kala mendengar permintaan yang terdengar tiba-tiba itu.

Secara tidak langsung anak berusia 17 tahun itu menegaskan jika ia sudah menyerah pada kehidupan.

"Udah jangan dipikirin plis, gue bakal bantu gimanapun caranya dan soal Dami yang nyuruh lo buat berhenti ngumpulin uang itu jangan di dengerin, oke?"

"Enggak enggak gue harus titipin Dami ke Alana buat sementara—"

"Kalau lo titipin Dami terus nanti Dami bakal ngerasa kalau dia udah banyak membebani orang-orang. Jadi gua mohon biar gue aja yang bantu kumpulin uangnya, lo cukup jagain dia. gue janji, tolong percaya sama gue."

"Dan gue gak bisa membebani lo sendiri."

Adya diam dengan gestur pura-pura berpikir, ia lupa jika sifat kedua saudara ini tak jauh berbeda. Ia ingin menolak namun apa daya, Zidan akan terus merasa bersalah karena merasa terlalu membebaninya.

"Ya nanti tinggal lo tambah-tambah aja, gampang."

Setelah sesi curhat serta berdiskusi itu selesai, kedua remaja itu kembali menuju ruang rawat sang adik sembari berbincang ringan.

Laut Saudara || Boys Planet LokalWhere stories live. Discover now