[10] Kebebasan yang Tak Diinginkan

Mulai dari awal
                                    

"Ada apa, Ilmi? Bukannya Anda tidak ada urusan di kantor ini lagi?"

Kedua mata Ilmi menatapnya tak percaya. Ia berharap ini efek dari sakit kepala yang menderanya, hingga ia salah melihat orang. Namun, kalimat yang baru saja diucapkan oleh orang itu begitu menyentaknya kembali ke kenyataan. Ia sama sekali tak berkhayal.

"Dewi?" Keningnya berkerut. "Lo ngapain di sini?"

Dewi tersenyum tipis. Menunjukan senyum manisnya. "Bekerja," jawabnya dengan nada enteng.

"Dew," Ilmi hanya bisa menatapnya. Lidahnya tiba-tiab terasa kelu. Dan rasanya ia ingin meluruhkan tubuhnya sekarang juga.

Rombongan itu kembali berjalan, dengan Dewi sebagai pemimpinnya. Namun, perempuan itu menghentikan langkahnya tepat di samping Ilmi. Menyentuh pundaknya pelan dan berbisik, "lo bebas sekarang."

Setelah berkata seperti itu, Dewi dan rombongan itu pergi meninggalkannya. Sementara tubuh Ilmi langsung meluruh ke lantai. Jantungnya terasa berat. Seakan ada beban berat menindihnya.

Dan yang ia tahu, ia menutup matanya saat mendengar seseorang memanggil namanya.

***

Baron mengetuk-ngetuk lantai dengan kakinya. Sepatunya membuat bunyi tuk-tuk-tuk mengisi keheningan yang ada di lorong.

Ia enggan masuk. Tidak ingin melihat raut wajah pucat itu melihat dirinya yang masih saja berempati. Sementara, di sebelahnya, seorang laki-laki bertubuh tegap berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Mereka mengobrol cukup lama di luar agar perempuan yang tengah berbaring di ranjangnya itu tak mendengar apa-apa.

"Jadi, karena hutang keluarga, kamu harus bekerja sebagai hacker di Sun World?" tanyanya lagi untuk meyakinkan.

Baron mengangguk pelan.

Reno melepas lipatan tangannya. Melirik ke jendela kecil yang ada di pintu rawat. Ilmi masih tertidur pulas di ranjangnya.

Dokter mengatakan bahwa perempuan itu stres dan kelelahan. Sehingga demamnya kembali naik padahal tadi pagi sudah cukup membaik.

"Setia apa takut?"

Pertanyaan itu membuat kening Baron mengerut. "Maksudnya?"

Reno tersenyum miring. Seakan menertawai pertanyaan yang diajukan oleh Baron.

"Kamu tetap tinggal karena setia apa takut?"

Tertegun. Baron menunduk dalam. Tidak pernah ada yang menanyakan hal ini pada dirinya. Bahkan ia tak pernah memikirkan ini sebelumnya.

Setia? Ia tidak bisa menyebutnya setia karena selama ini selalu mengeluh tentang pekerjaan kotornya. Ia juga awalnya tidak mau bekerja di Sun World. Jika bukan karena hutang keluarganya, ia juga tidak akan bertahan.

Takut? Sama sekali tidak. Ia tidak takut mati atau pun mendapat gangguan dari Sun World. Tapi ada keluarga yang berdiri di belakangnya. Meminta perlindungan dari orang-orang keji di dalam Sun World. Jadi, ia tidak mungkin melawan seenak jidat.

Jika ia berdiri sendiri. Mungkin ia telah melawan Sun World dengan sekuat tenaga. Bahkan jika ia harus mati, ia lebih menerima itu.

"It's okay. Saya nggak maksa kamu buat jawab," ucap Reno dengan gerlingan saat melihat raut wajah Baron yang sangat kelam.

***

"Sudah membaik?"

Ilmi menatap punggung kokoh itu dengan kedua mata menyipit. Kepalanya sudah tidak sepening tadi dan sebuah selang terpasang di tangan kanannya.

"Kamu kok bisa di sini?" tanya Ilmi saat orang itu selesai menata bunga di dekat jendela.

"Kamu sakit begini, mana mungkin aku nggak tau." Brian tersenyum manis. Ia duduk di sebelah Ilmi dengan kedua mata menatap lekat pada Ilmi. Kedua matanya berubah sayu. "Aku dengar kamu dipecat."

Ilmi menatap Brian dengan bingung. Ia menghela nafasnya panjang. Seakan beban hidupnya terasa begitu berat.

"Bukannya kamu yang mecat aku?"

"Aku?" Brian menunjuk dirinya sendiri. Raut wajahnya tampak bingung. "Aku bahkan nggak tau apa-apa. Aku baru tau kamu dipecat dari Baron. Katanya ada yang menggantikanmu."

Ilmi mengangguk pelan. "Dewi," ucapnya lirih.

Kedua mata Brian membelalak lebar. Terkejut. "Teman kamu itu? Kok bisa?"

Perempuan itu hanya mengangkat bahunya. Tanda tidak tahu. Kemudian, menatap langit lewat jendela kamar rawatnya.

"Apa nggak berlebihan aku dirawat di ruang VIP?" tanyanya. "Besok juga sembuh. Aku cuma perlu istirahat."

Brian mengusap kepalanya dengan sayang. "Hei, sakit kecil kayak gini nggak boleh dianggap enteng. Kalau tiba-tiba demam kamu makin parah gimana?"

Ilmi tertawa. Laki-laki itu memang aneh dan lucu. "Di ruang rawat biasa kan bisa."

Laki-laki itu langsung menggeleng. "Gimana kamu bisa istirahat kalau ruangan kamu berisik? Ruangan biasa kan diisi banyak orang."

Sejenak Ilmi melupakan masalah lalu. Saat dirinya meminta Brian untuk ikut bersamanya untuk keluar dari Sun World.

Tidak ingin membahasanya. Suasana antara dirinya dan Brian sudah cukup membaik dari pada sebelumnya. Ia tidak ingin membuat suasana antara dirinya dan Brian menjadi canggung kembali.

Dan di atas semua kegelisahan yang sedang dideranya. Ia bertanya-tanya, bagaimana dengan Reno?

***

Joker kembali menatap dari kejauhan. Ia memakai jubah hitam, kacamata hitam, sarung tangan hitam dan masker yang menutupi wajahnya hingga hidung.

Kedua matanya menatap tajam ke arah sosok yang baru saja menjemput adik tercintanya dari sekolah. Ia tersenyum sinis di balik maskernya. Semua berjalan mulus, apalagi Big Bos mengatakan bahwa mangsa datang sendiri ke sarang musuhnya.

Rencana yang hendak dilakukan oleh laki-laki yang hendak menjadi presdir Alfaroz Group itu akan hancur begitu saja. Tentu saja. Laki-laki itu tidak bisa lagi menyusup dengan menggunakan orang lain.

Cih! Joker kembali meremehkan rencana bocah yang tak tahu apa-apa itu. Rencana yang sangat terbaca dan rencana yang sangat mudah dihancurkan.

Sekarang, gilirannya mulai beraksi. Dan dengan itu, Reno tidak akan bisa berbuat apa-apa selain berlutut di kaki Big Bos dan meminta belas kasihannya.

***

"Terimakasih, Presdir." Dewi tersenyum. "Dengan begini, saya tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Ilmi lagi." Katanya.

Orang yang duduk membelakangi Dewi itu hanya memainkan pulpen perekam di tangan kanannya. Kemudian, memutar kursinya. Ia tersenyum.

"Seharusnya saya menerima kamu sejak awal." Katanya dengan suara berat. "Pintar. Cantik. Rajin. Cekatan. Semuanya ada di kamu."

Dewi mengangguk sambil tersenyum. "Terimakasih, Presdir."

Orang itu menggeleng. "Panggil Oom Juno saja. Bagaimana pun juga kamu adalah teman Ilmi juga, bukan? Ilmi sudah seperti anak saya."

"Iya, Oom Juno. Saya harap Ilmi tidak perlu menggantikan saya lagi di tempat ini." Katanya. "Biarkan dia hidup bebas agar tidak dipergunakan lagi oleh Reno sebagai pengkhianat. Ilmi orang baik."

Beautiful HackerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang