[3] Pilihan Yang Sulit

7.6K 446 4
                                    

Canggung, Ilmi duduk di hadapan Brian dengan raut wajah kaku. Bibirnya kelu dan kedua bola matanya bergerak tak jelas menghindari kontak mata dengan laki-laki tampan itu.

Demi Radio Dewi yang indah! Laki-laki di hadapannya ini sungguh memesona. Garis wajahnya membentuk lekukan indah. Hidung mancungnya, tatapan tajam intensnya, segala hal mengenai laki-laki di hadapannya ini benar-benar sungguh menakjubkan.

"Kenapa nggak dimakan?" Brian menatapnya lagi. Tatapan yang sama. Tatapan intens yang membekukan. "Kamu nggak suka sama makanannya?"

Tergeragap, Ilmi segera memotong steak di depannya dengan susah payah. "Eng... suka kok. Suka." Tangannya masih sibuk memotong steak berukuran sedang di piring bundar berwarna putih itu.

Saat itu juga, sebuah tangan terulur. Memegang tangannya lembut dan cukup erat. Membantunya memotong steak itu dengan mudah.

Ilmi terkesima. Terpaku dalam hitungan detik saat kedua tangan itu terlepas dari tangannya. Ia memandang ke arah Brian dengan tatapan memuja. Masa bodo dengan tampangnya saat ini. Ia benar-benar tak bisa berkata-kata dengan perlakuan Brian yang begitu gentleman.

"Kenapa?" tanyanya bingung. Satu alisnya terangkat ke atas. "Ada saus di wajahku?"

Dengan cepat, Ilmi menggeleng. Memaksakan kedua matanya beralih dari wajah tampan itu pada makanan di depannya.

Fokus, Ilmi! Fokuuuusss!!!

Ilmi berteriak dalam hati. Meneguhkan diri bahwa kali ini ia tidak boleh terpesona oleh siapapun. Meskipun itu Brian, atau bahkan si laki-laki brengsek, Reno.

"Eng, aku boleh tanya..." Ilmi berkata takut-takut. "Itu... kamu... jemput aku ke sini buat makan malam aja?"

Brian tersenyum. Senyum manis yang menggoda iman.

Ya Tuhan! Bagaimana ia bisa fokus kalau senyuman laki-laki itu saja langsung melelehkan hatinya? Bagaimana ia bisa menjalankan misi dari Reno jika ia malah asik terpesona oleh Brian!?

"Enggak dong," jawabnya enteng. Ia masih memamerkan senyum tampannya. "Aku ke sini ngajak kamu makan malam, sebagai rayuan untuk menerima jadi hacker di Sun World."

Sun World. Nama itu sudah tak asing lagi bagi Ilmi. Ia tahu jenis perusahaan apa itu. Bagaimana kabar miring yang selalu menerpa perusahaan besar itu, tapi tak satupun yang bisa membuatnya jatuh.

Ia baru mengetahui kemarin bahwa Sun World adalah sebuah perusahaan yang mampu membangkrutkan perusahaan lain. Salah satunya adalah Alfaroz Group.

Alfaroz Group dikenal oleh setiap kalangan. Tentu saja. Perusahaan itu sangat besar dan begitu terkenal. Perusahaan turun temurun yang berdiri sejak 40 tahun itu kini telah hancur lebur. Kata orang, Sun World-lah yang membuatnya menjadi bangkrut.

Entah hubungan apa yang menjadi alasan, yang jelas Sun World sangat menakutkan.

Siapa pun yang berani mengacau perusahaan itu, maka secepat mungkin ia akan mati. Terbukti dari ancaman para mafia yang mengejar Reno saat itu.

Ilmi bergedik ngeri. Seandainya ia tidak mau masuk Sun World, bagaimana dengan nasibnya? Apakah langsung dibunuh secara tragis? Seperti di film-film pembunuhan?

"Kamu takut,"

Ilmi mendongak. Menatap Brian dengan tatapan terkejut. Laki-laki itu bisa mengetahui isi hatinya.

Senyum di wajahnya tak hilang. Malah tersirat pengertian. "Aku juga." Katanya dengan nada lirih. "Awalnya aku juga takut dengan tawaran itu. Aku bekerja di bawah Sun World, bukan berarti aku pemberani. Aku sama sepertimu. Aku takut dibunuh, takut diperbudak... tapi, aku masih duduk di sini sekarang. Itu berarti, aku baik-baik saja. Dan kamu... kamu juga akan baik-baik saja."

Beautiful HackerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang