[1] Penawaran

10.1K 592 15
                                    

"Gue Reno."

"Gue juga tau." Ilmi menatap sinis cowok di hadapannya. "Lo kan satu kelas sama gue pas tingkat dua."

Reno tersenyum miring. Senyum meremehkan sepertinya biasanya. Senyum yang paling dibenci Ilmi selama mengenal Reno sebagai teman sekelasnya.

"Sekarang, bisa lo jelasin kenapa lo dikejar-kejar sama mafia? Lo habis jual apa emangnya? Narkoba?" Ilmi bertanya dengan nada angkuh. Kesal setengah mati dengan laki-laki yang ternyata temannya ini, dan juga telah menggendongnya seenak jidat tanpa ijin.

Salah satu alis Reno terangkat. "Lo kira gue penjual?" tanyanya dengan nada sinis.

Reno tidak menyukai perempuan di depannya semenjak kuliah. Perempuan itu begitu angkuh, dan galaknya bukan main. Pasalnya dia ditakdirkan untuk bersama dalam sebuah kelompok terus menerus. Dan perempuan itu selalu menyuruhnya untuk mengerjakan tugas padahal ia tidak mau.

Perempuan pemaksa paling menyebalkan. Padahal, Reno cukup terkenal saat itu. Banyak yang menyukainya, apalagi para perempuan. Mereka tunduk dan akan memberikan apapun untuk mendapatkan hati Reno, tapi Ilmi? Boro-boro tunduk, yang ada kepalanya keluar tanduk.

"Tampang gue ganteng begini."

Cih. Rasanya Ilmi mau muntah sekarang. Reno itu selain bandelnya minta ampun, dia juga laki-laki tak berperasaan yang selalu saja menindasnya. Saat perempuan-perempuan lain bermanis ria padanya dan mendapatkan perlakuan khusus dari Reno, Ilmi malah sebaliknya. Dia selalu dicibir dan juga diajak bertengkar dengan Reno.

"Ke laut sana. Ngaca di sana kalo emang nggak mampu buat beli kaca." Katanya keki. "Tampang ganteng? Cih... gantengan Lee Min Hoo ke mana-mana. Lo apanya yang ganteng? Upil lo kali yang ganteng banget."

Sumpah demi apapun! Reno tak pernah menemukan perempuan secablak ini. Asal ngomong. Semaunya. Nggak jaga image, lagi.

"Sekarang, lo harus jelasin kenapa lo dikejar-kejar sama mafia!" tekan Ilmi dengan kedua mata menatap sinis ke arah Reno.

"Masalah buat lo kalo gue dikejar-kejar mafia?" Reno tertawa sinis. "Lo cukup perhatian juga ya sama gue."

Cih. Amit-amit banget deh. Ilmi langsung membuang muka. Laki-laki itu memang rada sableng. Kalau ditanggapi pasti makin menjadi.

"Oke, kalo nggak mau cerita. Gue sih nggak masalah." Ilmi tersenyum tipis. "Tapi jangan harap kalau gue keluar dari sini, lo akan selamat tanpa ketahuan tu mafia."

Reno berdecak kesal. Perempuan di depannya ini memang selalu cari gara-gara. Selalu saja bikin marah dan emosi. Seandainya pembunuhan itu legal, maka orang yang pertama akan dibunuhnya adalah Ilmi.

"Mereka menginginkan gue." Reno berkata dengan kedua mata hitam yang mengelam.

***

Lima jam kemudian...

"Lo kok nggak dateng sih!?"

Ilmi langsung merasakan jantungnya berhenti berdetak. Suara itu mengagetkannya di tengah kegelapan seperti ini. Ia kira Dewi sudah tidur.

"Ke mana aja?"

Kali ini Ilmi dapat melihat Dewi yang sedang duduk di sofa dengan majalah di tangannya, setelah ia menyalakan lampu apartemen.

"Lo baca majalah gelap-gelapan begini?"

Dewi menggeleng. "Tadi buat nutupin muka. Gue pingin tidur soalnya."

"Tidur di atas sofa?" Ilmi mengernyit.

"Nungguin lo pulang," jawabnya. Lalu raut wajahnya langsung berubah cemberut. "Mi, jago banget ya lo bikin gue lupa sama pertanyaan awal. Ngalihin pembicaraan aja lo."

Beautiful HackerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang