The Beginning

19.2K 710 13
                                    

Kakiku berjalan di sekitar taman kota. Kebiasaan kecil yang slalu kulakukan belakangan ini. Aku bukan tipikal orang galau, bukan juga orang yang tak punya kerjaan.

Kerjaanku menumpuk. Seperti Gunung Mahameru atau Gunung Everest. Itu karena bosku yang kelewat semangat memberiku tugas-tugas kantor.

Beneran deh, aku ini anak baru. Kerjaanku seharusnya memerhatikan atasanku bekerja atau membantu mereka. Aku belum sanggup untuk menggantikan posisi atasanku untuk menghadiri rapat.

Bosku itu om-om menyebalkan yang doyannya absen dan mengerjaiku. Mungkin sudah menjadi kebudayaan di perusahaan software ini, bahwa junior harus rela ditindas oleh atasannya.

Baiklah. Kembali lagi pada niat awalku mengelilingi taman kota ini.

Sebenarnya aku penat setengah mati. Rasanya ingin terjun dari puncak Gunung Everest dan tenggelam di dalam Sungai Amazon.

Beneran. Aku nggak bohong. Cukurin aja kepalanya Dewi kalau sampai aku bohong. Hahaha

By the way, Dewi adalah salah satu teman kuliahku yang menjadi teman kerjaku. Dia adalah radio terindah yang selalu menemaniku, dari jamannya kuliah sampai sekarang.

Dia nggak akan berhenti bernyanyi sebelum dia terserang sakit demam dan kawan-kawannya. Salah satu teman yang paling asik diajak berantem.

Tuh kan jadi kemana-mana. Maklumlah, aku penat setengah mati di kantor karena pekerjaanku tidak sesuai dengan keinginanku. Walaupun gajiku lumayan besar untuk kalangan karyawan biasa.

Tapiiii beneran deh. Aku bercita-cita jadi hacker hebat dan menerobos semua keamanan sistem. Ah serunya.

Drrrrt.... drrrrtttt...

Dengan gontai kuangkat ponsel di sakuku yang bergetar.

"Ilmi!"

Aku langsung menjauhkan ponselku dari telinga. Gila banget! Bosku itu emang nggak tahu diri. Suara bass besarnya itu bisa bikin olahraga jantung. Mending jadi sehat, kalau ujungnya wafat gimana? Kan sayang, aku juga belum menemukan jodoh yang ganteng kayak Kim Soo Hyun.

"Ya, Pak?" tanyanyaku dengan malas.

"Besok saya ada acara keluarga. Jadi, tolong gantikan saya saat rapat nanti."

Tuh kan! Aku ini masih pemula. Aku juga bukan asistennya. Aku cuma bawahannya yang junior dan seharusnya diberi arahan. Bukan diberikan beban.

"Ya, Pak. Ada lagi?" tanyaku dengan suara sok lembut.

"Tidak." Katanya singkat dan dengan suara tegas.

Setelah itu, ia memutus sambungan. Tanpa basa-basi. Aduh! Gila banget kan tuh bosku. Tukang nyuruh, bawel, jutek banget lagi! Kalaupun dia punya anak cowok ganteng, aku juga nggak bakalan mau.

***

"Nanti malam jadi, kan, Mi?"

Dewi menggeser tempat duduk yang memiliki rodanya ke arahku. Cewek itu hampir saja membuat diriku menggeser tubuhku dari kursi nyamanku.

"Iya, jadi." Aku menyahut dengan malas-malasan.

"Yuhuuuu!!!" Dewi memainkan kursinya lagi dan menggesernya ke depan meja kantornya. Cewek itu langsung bersenandung ria dengan lagu Melly Goeslaw, KuBahagia.

"Di atas bumi ini, kuberpijak..."

Ya Tuhan! Radionya mulai lagi. Demi apaaaaa?

"Dew, Rin ikut juga?"

Dewi menghentikan senandungnya dan mengerutkan kening. Menatapku dengan tatapan aneh. Seakan aku adalah manusia paling kudet sedunia.

"Ya ampun!!! Dia masih dinas di luar sana, coy. Ke mana aja lo?" Dewi menatapku keki. "Kita kan punya grup di social media, dan tiap malem bunyi. Lo kehabisan paket atau emang baca tapi lupa ingatan?"

Baiklah. Aku kudet karena Bosku itu, Pak Candra. Saat aku ingin bersenang-senang sedikit untuk melihat ponselku, Pak Candra pasti langsung memergokiku dan menyuruhku untuk tidak memegang ponsel. Katanya, ponsel menghambat pekerjaanku.

Memang benar sih. Tapi kan aku juga butuh hiburan gituuuuu....

"Sori. Tapi Eva sama Vina dateng, kan? Aunty?"

"Mereka dateng kok." Dewi memainkan pulpen di tangannya sambil menatap layar monitor di depannya. "Eva sama Vina agak telat kayaknya, soalnya nungguin Arip sama Ridwan jemput. Kalo Aunty dia usahain dateng kalo nggak keteter sama produk flanelnya."

Aku tersenyum diam-diam. Mereka masih sama seperti dulu. Masih begitu sama seperti di ingatanku meskipun kami telah berpisah sekitar dua tahun.

"Aunty masih aja kerja di perusahaan tapi jual flanel juga." Aku menatap layar monitor dan menemukan sebuah pesan e-mail dari teman jauhku di sana.

From : Rin

Subjek : Buka dulu

Sori ya, guys. Lagi-lagi nggak bisa ikut. Dinas sama jadwal ketemuan pas banget begini. Kalau dinas jaraknya Cuma 120 meter atau 50 km aja sih nggak apa-apa. Masalahnya, ini ngelewatin lautan sama daratan. Kira-kira kalau naik motor, nyampenya setengah tahun kali ya? Pokoknya, sori banget deh. Really, really sorry... :*

Aku geleng-geleng kepala. Seperti biasa. Cewek ini memang kalau ngomong udah kemana-mana. Aku melirik Dewi yang duduk tak jauh dariku. Dia juga sedang menatap layar monitor sambil menggerutu. Kebiasaan yang sama seperti saat kami di universitas dulu.

Baiklah. Meskipun tak lengkap, meskipun tugas menumpuk, tak seharusnya aku sedih ataupun menggerutu terus. Aku harus bangkit meskipun Pak Candra bawelnya melebihi Ibuku di rumah.

***

Aku berdecak kesal saat mendapatkan setumpuk laporan yang harus kurevisi ulang. Laporan itu tinggal seperempat lagi, tapi jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dan itu waktunya tiga puluh menit lagi aku dan kawan-kawan harus bertemu.

Sialnya lagi, Pak Candra tidak membiarkanku untuk pergi begitu saja kali ini sebelum seperempat tugas itu selesai.

Sementara Dewi sudah keluar kantor sepuluh menit lalu. Mengatakan bahwa dia akan menunggu di lobi sambil melirik cowok ganteng. Cih, padahal dia sudah bertunangan dengan Rofik, setelah berpacaran sekian lamanya.

Aku memilih untuk mengambil ponselku. Mengabaikan pemberitahuan grup yang sampai ratusan, dan memilih membuka pesan. Mengirimkan pesan pada Dewi untuk berangkat lebih dulu dari pada aku. Sepertinya aku akan sedikit terlambat. Enggak juga sih, banyak terlambat mungkin.

***

Capek. Lelah. Mataku rasanya beraaaaat sekali. Seperti ada lem aibon yang melekat erat antara kelopak mataku dan juga mata bagian bawahku.

Aku sudah melewatkan satu jam pertemuan. SATU JAM! Tebak sekarang jam berapa. Sekarang? Sekarang jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul sembilan malam. Kalian tahu apa itu? Itu bencana? Bencanaaaaa.... anak-anak pasti akan mengeroyokiku, menjambak rambutku, menyeretku dan bahkan memutilasiku karena... oke deh, itu agak lebay, maksudku mereka pasti marah besar. Ngedumel sampai besok pagi karena aku telat datang. Ngaretnya mending sih setengah jam atau sepuluh menit. Ini sih satu jam. Gila aja!

Demi Radio Dewi yang begitu indah, ini adalah bencana besaaaaar!!!

BRUK...

Aku merasakan tubuhku oleng.

Mungkin ini efek dari aku kelelahan? Ditabrak sedikit saja langsung tersungkur ke tanah.

Tapi aku merasakan samar-samar puluhan orang datang bergerombol. Sementara dua buah tangan besar menarikku paksa untuk berdiri. Aku nggak sanggup. Beneran.... plis jangan tarik aku....

Dengan lemah, aku menuruti kemauan si pemilik tangan besar itu. Dia membopongku. Karena merasa jalanku begitu lambat, aku merasakan dia malah menggendongku dengan kedua tangannya yang besar.

Aku terkejut. Apa-apaan nih!?

"Diam!" katanya dengan nada mengancam. "Diam kalau mau selamat."

Oh Tuhan! Apa lagi yang terjadi denganku? Siapa cowok ini?

Beautiful HackerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang