Chapter 24

1.9K 281 17
                                    

Chapter 24
Sonder
By saytheutic

.
.
.

"Selamat pagi, Bu. Selamat pagi, Dek." Zello menyapa dengan riang. Disertai dengan senyum paling lebar yang ia miliki. Kedua kaki jenjangnya melangkah mendekat, berharap tidak ada rasa takut dari pasien anak yang ada di hadapannya.

Harus berhadapan dengan anak yang usianya terlampau jauh, tentu sangat sulit. Ditambah dengan seragam putih yang digunakannya—meski hanya seragam sementara yang menunjukkan bahwa ia adalah pegawai baru. Belum bicara saja, tangisan penuh ketakutan kadang terdengar.

Beruntung, kali ini tidak ada tangisan yang terdengar. Justru, kedatangan Zello disambut oleh senyuman dari anak berusia dua tahun yang duduk dengan bonekanya di atas bed. Di sisinya, sang ibu yang setia menemani.

Lantas, Zello mengingat bagaimana masa kecilnya dahulu. Lebih sering berada di rumah sakit, hanya bersama dengan sang nenek. Terkadang, bundanya memang datang mengunjungi, namun pekerjaan kembali menyita waktu.

"Gimana, Bu? Adeknya udah nggak nyoba narik NGT-nya lagi, 'kan?" Zello laku bertanya.

"Udah nggak, Kak. Mungkin, lama-lama terbiasa. Kecuali kalau lagi main, sih. Kadang nggak sengaja ketarik." Jawaban itu lantas membuat Zello mengangguk, tidak juga melunturkan senyum. Nasogastric tube itu memang baru dipasang kemarin, pastinya, masih butuh penyesuaian karena rasa tidak nyaman akibat selang panjang yang dimasukkan dari hidung hingga ke lambung.

"Kalau gitu, saya mau ajarin gimana cara ngasih makannya, ya, Bu. Biar kalau di rumah nanti, Ibu bisa ngasih makan dengan benar."

Zello mengambil spuit 100 cc yang ada di atas nakas di sebelah bed, setelah sebelumnya mencuci tangan dengan handrub dan mengenakan sarung tangan. "Bu, sebelum adeknya dikasih makan, harus dicek dulu, ya, selang NGT-nya di lambung atau nggak. Caranya—" Zello membuka tutup NGT, lalu segera melipat ujungnya. "—Ibu tinggal buka, jangan lupa diklem, ya, jadi nggak ada udara yang masuk. Takutnya, kalau ada udara masuk, justru jadi kembung. Setelah itu, tinggal pasang spuitnya, agak ditarik sedikit. Kalau ada cairan, berarti itu masuk ke lambung."

Seraya memperhatikan, ibu sang anak mengangguk pelan. Sementara Zello berusaha untuk menjelaskan dengan mudah. Ia mengerti bagaimana caranya, hanya ketika menjelaskan, Zello sedikit kesulitan.

"Kalau udah dicek, baru bisa dikasih makan. Nggak usah pake pendorongnya, kita langsung alirin." Zello mengambil segelas susu yang ada di atas nakas. Tanpa melepas lipatan di ujung, dituangkan susu itu ke dalam spuit, sampai menyentuh angka 100 cc. "Selama lagi ngasih makan, Ibu juga harus perhatiin adeknya. Takut muntah atau udah kekenyangnya."

Sambil menunggu susu yang ada di spuit habis, Zello bertanya, "Ada yang mau ditanyakan, Bu?"

Si ibu menggeleng pelan. "Udah jelas, Kak. Terima kasih, ya," balasnya dengan senyum di bibir.

"Oh, iya. Sebelum dikasih susu, dicek juga suhu susunya, jangan terlalu panas."

Setelah susu di gelas habis, Zello segera merapikan alat. Tangannya meraih handrub yang ada di sudut bed. "Buat pemberian makan selanjutnya, Ibu bisa coba buat kasih dulu sendiri. Kalau emang masih bingung atau masih ngerasa takut, Ibu bisa panggil perawatnya, ya," ucap Zello. Kedua tangannya saling menepuk. "Kalau gitu, saya ke nurse station dulu, ya. Permisi, Bu. Permisi, Dek."

Dengan senyum lebar di wajah, Zello membalik tubuh. Menutup gorden hijau yang menjadi pembatas antara satu bed dengan bed lainnya, sebelum berjalan ke luar ruang rawat.

SonderWhere stories live. Discover now