Untuk hari ini saja, Zello tidak ingin memikirkan kondisinya.

•••

"Dok, kemarin kenapa nggak masuk? Sakit?" Rean yang awalnya sedang membaca status pasien, langsung mendongak, menatap seorang perempuan dengan scrub merah, khas seragam instalasi gawat darurat. Rean melupakan siapa namanya, tetapi ia tidak terlalu peduli.

"Oh, iya. Kemarin saya sakit," jawab Rean pada akhirnya.

Perempuan tersebut hanya menganggukkan kepala, kemudian berjalan menuju meja pemeriksaan awal. Ia duduk di salah satu kursi, memanfaatkan waktu selama tidak ada pasien.

"Iya, katanya sakit."

Samar-samar terdengar suara, membuat Rean lantas berhenti bernapas. Sedikit terkejut. Meski Hanya sedetik.

"Tumben amat dokter Rean sakit." Sebuah suara menimpali.

Rean awalnya tidak terlalu peduli. Lebih baik ia duduk dengan tenang, membaca status pasien. Atau mungkin sedikit mencari hiburan dengan berjalan ke ruang triage lain.

"Adeknya juga udah berminggu-minggu nggak masuk. Gue dengar dari teman gue yang ada di ruangan. Sejak ... kapan, ya, collapse di ruangan dan dibawa ke sini."

Rean mengurungkan niatnya untuk bangkit. Kedua tangan yang berada di atas meja kemudian mengepal. Merasa biasa saja ketika dirinya yang dibicarakan, namun merasa sedikit kesal saat nama Zello mulai diangkat ke permukaan.

"Oh, iya. Ingat banget gue. Akhirnya dirawat di ICCU, 'kan?" Balasan lain dari orang yang berbeda terdengar. "Enak, ya. Masih bisa masuk kerja. Gue tadi lihat dia mau ke ruangan. Kayaknya, udah mulai kerja lagi."

"Makanya, jadi anak petinggi rumah sakit. Lo mau berulah juga nggak bakal dikeluarin dari sini. Enak, ya, kalau punya kuasa. Lo nggak bakal bisa ngapa-ngapain."

"Sttt, pelan-pelan bicaranya. Ada dokter Rean. Dia kakaknya, 'kan?"

"Ya, saya kakaknya." Rean lantas menimpali. Ia bangkit dari kursi dengan tangan yang bersedekap di depan dada. "Nggak malu, Kak, bicarain orang lain gitu?"

Tidak ada jawaban sama sekali, yang lantas membuat Rean berdecak pelan. Seharusnya, mereka sadar jika membicarakan orang lain merupakan perilaku yang tidak baik. Di depan orang yang mengenalnya pula. Suaranya terdengar, meski ada jarak yang cukup jauh.

"Kak, saya nggak bermaksud nggak sopan. Tapi, mohon maaf sekali lagi, saya nggak suka ngedengerin orang ngebicarain orang lain di dekat saya," lanjut Rean. "Polusi suara, Kak."

"Kalau emang Dokter nggak mau dengar, nggak usah didengerin. Kita juga ada hak buat bicara, 'kan?"

Senyum sinis Rean terlukis begitu saja. Lengan yang awalnya terlipat di depan dada, lantas meluruh. Maju selangkah, dengan tatapan yang tampak merendahkan.

"Bukan cuma itu masalahnya, Kak." Rean menarik napas panjang, sedikit menertawakan diri yang sejak dulu tidak ingin ikut campur dengan masalah Zello, namun kini malah berdiri di posisi paling depan.

"Saya nggak suka kalau Kakak ngomongin adik saya begitu."

Suara Rean terdengar begitu tajam, hingga tiga orang yang ada di hadapannya menunduk. Rean kemudian memilih untuk berlari, berjalan di lorong menuju ruang istirahat. Decakannya terdengar menggema. Kedua tangan Rean lalu mengusap wajahnya.

"Ngapain pula gue pake belain anak itu."

•••

Suasana ruangan masih sama seperti terakhir kali Zello menginjakkan kaki di sana. Sisa-sisa perayaan ulang tahun Rumah Sakit Amartya masih tertempel, seolah menunggu Zello untuk melihatnya kembali. Meski melewatkannya, namun ia tidak sepenuhnya kehilangan momen, karena ICCU juga dihias dengan temanya sendiri.

"Zel, akhirnya kamu masuk juga." Kia, teman satu shift Zello, menyapa. Ia pula yang memberikan pertolongan pertama pada laki-laki itu.

"Kak Kia," bisik Zello pelan. Senyumnya tampak terulas lebar. "Makasih banget, ya, udah nolong aku waktu itu. Aku nggak tahu nasib aku bakal gimana kalau nggak ada Kakak."

"Tenang aja, Zel. Itu udah tugas aku. Sebagai rekan, sebagai perawat juga. Nggak mungkin, 'kan, aku ngebiarin kamu gitu aja."

Jawaban itu lantas membuat kedua manik mata Zello berkaca-kaca. Jawaban yang terdengar begitu tulus. Zello tidak tahu, harus membalas seperti apa.

Zello kira, kehidupannya akan bertambah buruk setelah kabar dirinya ambruk di ruangan tersebar. Meski tadi sempat ada beberapa orang yang membicarakannya, namun kondisi di ruangan yang baik membuat suasana hati Zello membaik. Tanpa sadar, Zello mengembuskan napas lega.

Hidupnya ... Zello kira akan semakin buruk. Tapi ternyata, Tuhan masih sayang padanya.

•to be continued•

A/n

Masih agak galau hahahahaha tali udah gak segalau kemarin.

Semoga kamu bisa enjoy! Mari kita nikmati akhir minggu ini.

Btw, tengkyu pesannya yaaa, aku baca tapi belum aiu balas hehe

SonderWhere stories live. Discover now