05. Pertanyaan Konyol untuk Rere

106 25 18
                                    

Joko Bastian Teguh mengamati pantulan dirinya di cermin kamar. Sama halnya dengan seleksi wawancara sebelum-sebelum itu, sang pria tak begitu gugup untuk menghadapi. Bahkan bisa dibilang Jo acuh tak acuh sebab ini adalah hal enteng sekali bagi dia.

Pagi itu Jo bangun pukul 5 subuh.

Punggungnya sungguh remuk hingga pria itu harus berusaha keras membuat tangannya menggapai bagian yang sakit lalu mengurut pelan-pelan. Merasa bahwa sakit di punggungnya berangsur membaik, Jo pun bangkit dari kasur, melakukan stretching singkat kemudian mengambil handuk dari jemuran dan menuju kamar mandi.

Lima belas menit membersihkan diri, Jo keluar dengan handuk yang melingkar di pinggang.

Dia pun pergi ke lemari pakaian dan mengenakan semua yang telah disiapkan kemarin sore. Setelahnya, kaos kaki dan sepatu kerja ia pakai lalu bertolak diri menggantung handuk kembali ke jemuran. Jo keluar dari kosnya jam 8 pagi, sembari menenteng satu tas hitam. Tak ada kegiatan menyisir rambut, sebab bagaimanapun bentuknya Jo tetaplah akan terlihat tampan--menurut persepsi dia sendiri.

Pria itu menaiki motornya dan keluar dari daerah kos yang ditinggali selama 1 tahun belakangan.

Jalanan pagi tak begitu macet, sehingga memudahkan Jo yang ingin cepat-cepat sampai di kantor. Melakukan interview pada 50 orang yang telah diseleksi lagi oleh ketua, kemudian pulang dan tidur--meski besok akan ada pekerjaan menumpuk lagi.

Tiba di perusahaan tempatnya bekerja, Jo membawa motornya ke area parkir khusus roda dua lalu menaruh kendaraan itu disana. Sehabis itu, dirinya lantas melangkahkan tungkai teramat santai memasuki gedung.

Satu tangan terangkat menyisir rambut tanpa perlu melihat pada cermin. Merasa puas melakukan hal tersebut, Jo menggigit sudut bibir lalu menaikkan kedua alis entah pada siapa.

Baru saja akan menaiki tangga, seorang satpam mendekatinya dan memberi tahu Jo bahwa lift sudah dapat dipakai. Lantas Jo mengucapkan terima kasih lalu melangkah ke depan lift. Berdiri disana selama hampir lima menit, pintu lift akhirnya terbuka juga.

Jo masuk seorang diri.

Tetapi kesendirian itu tak berlangsung lama. Persona bersepatu pumps hitam--biasa dikenakan oleh wanita saat sedang bekerja--itu menarik langkah dengan cekatan memasuki lift.

Jo berinisiatif memundurkan tubuh agar wanita itu tak merasa terganggu. Wanita itu menekan tombol angka 4, sama hal dengan lantai tempat Jo bekerja. Sertamerta Jo menatap dingin dari ujung kaki sampai rambut wanita yang berdua dengannya di lift.

Rok kain hitam selutut, kemeja putih lengan panjang dan rambut pirang yang diikat rapi ke belakang. Niscaya wanita ini pasti adalah satu dari sekian orang yang akan diwawancarai oleh Jo, akan tetapi ada satu yang mengganggu penampilan wanita itu.

Indonesia sedang memasuki musim panas jadi mengapa dia mengenakan syal abu-abu di leher?

Jo jelas akan memberikan nilai minus disitu.

Menurutnya, penampilan untuk datang wawancara tak harus spektakuler apalagi sensasional. Cukup dengan mengikuti ketentuan yang ada sudah pasti dilirik oleh pewawancara--meski tidak semua begitu. Kembali lagi pada performa yang ditampilkan saat sesi tanya jawab.

Pintu lift terbuka, tanda bahwa mereka telah sampai di tujuan.

Sontak Jo keluar dan berjalan ke ruangan Hazel. Dirinya menemukan Fira yang sedang sibuk dengan laptop di atas meja. "Fira, tolong."

Hanya dengan dua kata itu saja, Fira menurut--alasan utamanya ialah karena akan melihat bagaimana Rere, sahabatnya menjalankan proses wawancara. Dia bangkit berdiri lalu mengikuti langkah Jo yang juga langsung berdiskusi perihal apa permintaan tolongnya. Tak lain dan tak bukan, memanggil nama pelamar kerja untuk masuk ke dalam ruangan.

BABIBUOnde histórias criam vida. Descubra agora