Tiga Puluh Delapan

Beginne am Anfang
                                    

"Tapi 'kan, kamu bisa bangunin dia baik-baik," Nada ingin merangkul putranya. Tetapi entah kenapa, Oka justru menolak. Buat Nada sedikit terkejut dengan sikap yang ditunjukkan anaknya itu. "Bang?"

"Ya, masa dia nggak denger gue klakson-klakson dari tadi? Safira aja denger kok. Dia langsung bukain gue pintu."

Nada belum sempat menegur sikap putranya, namun rupanya adiknya pun masih ingin terus membuat keributan. Mendadak saja kepala Nada justru berdenyut. Perubahan sikap putranyalah yang kini tengah menjadi buah pikirannya. Oka memang diam. Tetapi sorot mata yang ditampilkan oleh anaknya itu terlihat penuh dendam. Lontaran kekesalan dari mulut Adri bak bahan bakar yang menyulut emosi yang semula coba Nada tekan dalam-dalam. Hingga akhirnya, ia memilih tak tahan. Menyerah tuk menjadi pihak yang selalu mencoba berlapang dada. Nada kalah, pada keinginan tuk meledak juga.

"Terus sekarang kamu maunya apa, hah?!" persetan dengan para tetangga, Nada pun mampu bergantian mencecar adiknya itu. "Kamu sekarang maunya apa?!" ia tinggikan suara. Buat keluarganya tentu saja terkejut atas sikapnya. Tak terkecuali putranya. "Kamu yang gagal interview! Kamu yang nggak diterima kerja! Terus sekarang, kamu limpahkan kekesalan kamu ke anakku gitu?!" matanya meradang penuh emosi. "Kamu pikir mental anakku samsak hidup yang bisa kamu mainkan sesuka kamu?!" ia tak terima. Kali ini, akan ia luapkan segalanya. "Selama ini aku sama anak-anakku udah ngalah! Aku terus diam! Aku ajarkan anakku sabar! Tapi apa yang kami dapatkan di sini?! Semuanya makin menginjak-injak kami!" serunya kalap.

Kini sorot mata Nada tak hanya mengarah ke adik laki-lakinya saja. Tatapnya yang diliputi emosi itu berhasil menggilir satu per satu keluarganya tanpa terkecuali. Tak peduli pada Bapak sekalipun.

"Aku tahu, kamu sama Safira nggak pernah mau menghormati aku sebagai kakak kalian, karena kalian selalu berpikir aku numpang di sini 'kan?!" air mata menggenang di pelupuk. Emosi yang melanda diri, membuat tubuhnya bergetar tak terkendali. "Aku numpang pun nggak gratis!" tandasnya yang sebenarnya enggan membahas masalah ini. "Maaf, kalau aku memang nggak bisa jadi panutan. Maaf, kalau selama jadi kakak kalian, aku nggak bisa kalian banggakan."

Statusnya sebagai janda dengan dua orang anak tentu saja bukan hal yang patut dipamerkan. Nada yakin, adik-adiknya pun bahkan malu bila ada temannya yang bertanya mengapa kakaknya tetap tinggal di sini alih-alih hidup bersama suami. Ia hanya beban bagi keluarganya yang hidup susah. Menikah, tak lantas membuatnya mengangkat derajat keluarga. Justru, ia menambah masalah.

Terakhir, sebelum ia menyesali semua ucapan yang keluar dari bibirnya saat marah, Nada mencoba menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menormalkan detak di dada yang menderu kencang. Memejamkan mata sejenak hanya tuk meraih ketenangan, Nada biarkan air mata yang tertahan di kelopaknya tumpah. "Masuk ke kamar, Bang," bisiknya perlahan. "Gelar karpetnya. Bentang tempat tidur Abang," perintahnya pada sang putra. "Denger apa yang Bunda bilang 'kan, Bang?" saat ia buka mata netranya bertemu dengan tatap nanar putranya. "Masuk kamar," kali ini suaranya memerintah dengan tegas.

Oka menurut. Namun, ia tak segera beranjak. Ia tatap dulu adik bundanya dengan pandangan nyalang yang sulit diartikan. Dalam diam yang ia tunjukkan, ada dendam yang pelan-pelan di simpan. Sebelum kemudian, elusan lembut terasa di puncak kepala. Buat Oka kontan menengadah.

"Tidur, ya, Nak?"

Pandangan Oka terpaku pada bunda. Senyum letih yang terpatri di wajah bidadari terindah dalam hidupnya, buat Oka kontan terenyuh. Bunda sudah melalui banyak hal sulit untuk mereka. Bunda yang selalu mengajarkan sabar, akhirnya mengeluarkan segala tekanan yang membelenggunya malam ini.

"Tidur di bawah kayak biasa, ya, Bang? Sana, cepet tidur. Besok mau kemah 'kan? Bunda mau pipis dulu."

Bibir itu memang melengkungkan senyum. Namun Oka tahu, hanya kesedihan yang tersimpan di mata bidadarinya. Bila ia saja terluka oleh kata-kata omnya. Lalu bagaimana dengan ibunya?

Aksara SenadaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt