Dan hari itu, di pagi yang masih ranum Aksa mendapat pelukan yang paling indah. Jari-jari mungil bayi-bayinya, kini mampu mendekap erat tubuhnya.

Disaksikan bidadari yang akan selalu ia puja, Aksa bersumpah, ia tak akan melepas mereka selamanya.

"Kalau pagi ini kalian berangkat lebih pagi bareng Ayah mau nggak?" tawar Aksa sambil melepaskan pelukan pada si kembar. "Kita bertiga sarapan di luar, mau?" karena rasanya ia sudah tidak punya tempat lagi di rumah ini.

Si kembar tak langsung menjawab, mereka mengalihkan tatapan ke arah sang bunda. Seolah meminta persetujuan.

Nada menerima pertanyaan yang dilempar putra dan putrinya dengan sangat baik. Dengan senyum terkulum tulus, kepalanya mengangguk. "Boleh kok, Nak," katanya pada mereka berdua. Bukan Nada tak ingin menyediakan sarapan untuk Aksa, tetapi ia pun tahu Aksa yang tak akan nyaman berada di sini lama-lama. Apalagi dengan keberadaan ibunya. "Sana pergi aja sama Ayah. Abang duluan yang mandi, ya? Adek rapihin tempat tidur dulu."

Sepeninggal si kembar, ketiga orang dewasa itu memilih bertahan di dapur. Ibu Nada yang terus saja berwajah ketat. Lalu Nada yang juga belum kembali melanjutkan aktifitas memasaknya. Mereka semua masih butuh bicara. Dan hal itu langsung disadari Aksa. Jadi, Aksa yang terlebih dahulu angkat suara.

"Bu," ia memanggil sang mantan ibu mertua dengan sopan. Walau wanita yang telah melahirkan mantan istrinya itu tetap saja melengos, namun Aksa tahu dirinya yang paling berdosa di sini. "Sekali lagi, maafkan saya, Bu."

Darmayanti membuang muka. Ia bisa saja mengabaikan pria itu. Sebagaimana bila setiap tahunnya, ayah dari cucu-cucunya itu datang ke rumah. Tetapi entah kenapa, kali ini ia ingin menanggapi. Ada gemuruh yang tak tertahan di dada. Telah ia pendam sekian lama, mungkin pagi ini memang sudah seharusnya ia tumpahkan semua. "Maaf kamu nggak bisa mengembalikan segalanya, kan?" mulainya dengan senyum miris menghiasi wajah. "Maaf kamu, nggak bisa mengembalikan anak gadisku yang kamu nikahi malam itu 'kan?"

"Bu—"

"Sampai kapan kamu mau belain dia, Nad?" ibu empat orang anak itu memasang wajah marah. Ia hunuskan tatap tajam pada putrinya. "Kamu nggak pernah dibahagiain dia, Nad," telunjuknya mengarah ke Aksa tanpa ragu. "Dia nggak pernah bahagiain anak-anakmu. Tapi kamu tetap mau belahin dia?"

Aksa terhenyak.

Bukan hanya dari kalimat itu, melainkan raut wajah yang ditampilkan sang mantan mertua. Amarah dan kesedihan bercampur jadi satu. Walau sejak awal ia tak pernah melihat senyum tulus dari wajah itu, namun pagi ini rasanya lebih memilukan. "Bu, saya benar-benar minta maaf. Tapi saya bersumpah, Bu. Keinginan saya adalah membahagiakan Nada dan anak-anak kami."

"Kenyataannya, kamu malah meninggalkan mereka dan menikah lagi 'kan?" balas Darmayanti sengit. Lalu, tatapnya yang pedih kembali mengarah ke anak perempuannya. "Dia nikahin kamu dengan kondisi yang sangat nggak layak hari itu," tidak ada seruan bernada tinggi. Kali ini, rintihnya sebagai seorang ibulah yang mengambil alih. "Ibu bukan orangtua yang gila berpesta. Bukan juga orangtua yang gila kehormatan. Tapi paling nggak, Ibu masih punya nurani. Ibu masih anggap kamu anak Ibu yang berharga. Ibu nggak minta kamu dipinang dengan megah. Tapi paling nggak, tolong, Ibu mau kamu diperlakukan dengan layak."

Ia menatap anak perempuannya itu dalam-dalam. Bukannya ia tidak sayang pada Nada, hanya saja ia tak mampu mengutarakannya sebagaimana semestinya. Dia tak pernah bermimpi menjadi orang kaya. Makanya, ia kerap menanamkan pemahaman pada dirinya sendiri bahwa tak masalah bila hidup seadanya.

Darmayanti ingin hidup yang biasa-biasa saja. Yang penting baginya, ada sumber pekerjaan untuk suaminya. Namun, anak keduanya selalu menjadi pusat perhatian orang-orang.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now