10.| Untukku

6 0 0
                                    

Aku meringkuk di ranjang klinik bersalin ini. Tadi subuh tetanggaku mengantarku dengan mobilnya kemari. Jangan ditanya bagaimana bisa. Aku saja tak mengerti bagaimana bisa hanya beralih posisi tidur lalu keluar cairan seperti mengompol. Aku menelepon tetangga sebelah dan mereka segera membawaku ke klinik bersalin terdekat ini. Aku baru akan bertemu dokter jam 10 nanti. Jadi selama ini aku hanya akan dipantau oleh bidan saja.

Infus terpasang dan aku hanya bisa menangis dalam diam sebagai refleksi rasa takutku. Tadi aku sudah menelepon Zhuma, singkat saja karena setelah bicara, aku tak bisa menahan tangis. Aku menelepon mak Nor juga, dan Heru juga.

Menjelang jam 7 pagi, mereka datang dan mengambil alih tugas menjagaku dari tetanggaku. Bapak Edi dan istrinya pamit dan memintaku mengabari kalau aku butuh apa-apa. Pasangan pensiun yang seumuran bapakku itu sudah lama bertetangga denganku dan seolah menjadi pengganti ortuku.

Mak Nor menemani aku berjumpa dokter kandungan yang memberiku USG pada jam 10 pagi. Kabar yang diberikannya sungguh memilukan. Katanya, air ketubanku tinggal sedikit, dan bayiku sudah tak ada harapan lagi.

Airmataku jatuh tak tertahankan. Pedih rasanya hatiku. Bagaimana ini...

Heru dan mak Nor berusaha menenangkan aku sampai akhirnya aku cuma bisa diam dan meringkuk. Aku tak lagi sanggup memegang hape bahkan untuk menelepon Zhuma. Kuserahkan hape pada mak Nor. Aku ingin tidur tapi tak bisa, walaupun aku berusaha memejamkan mata. Hingga sore datang menjelang dan seorang ibu datang menghampiriku. Aku bahkan tak menyadari ada yang datang karena aku berbaring membelakangi pintu dan terus menerus menitikkan air mata.

Mak Nor menepuk pelan lenganku dan bilang, " Pai, ini ibu mertuamu datang. "

Aku membalikkan badan dan melihatnya. Seorang ibu berwajah ramah dan cantik sekali walau makeupnya minimalis. Dia memakai baju gamis warna navy dan kerudung panjang yang senada. Dia membungkuk untuk memelukku tanpa menunggu aku menyalaminya. Dia harum, bukan harum parfum tapi kurasa itu wangi bedaknya. Dia berbisik dengan suara khas ibu-ibu yang menenangkan.

"Yang kuat ya, nak. Ini semua sudah ketentuan Allah. " Itu yang dia bisikkan.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya airmata yang mengalir sebagai jawabannya. Dia duduk dan menggenggam tanganku, menepuk-nepuknya lembut. Mak Nor mengadu padanya kalau aku hanya makan sesendok saja tadi. Maka ibu pun meminta piring makanku yang masih penuh.

"Sini, mamak suapkan. Sedikit tak apa, yang penting ada tenaga. " Begitu bujuknya.

Dengan telaten dia menyuapi aku. Suapan kecil-kecil yang mudah dikunyah sambil berbaring. Betapa kasih sayang yang mengalir ini seolah memberiku semangat untuk bertahan dan menguatkan diri. Sambil menyuapi aku dia bicara kalau dia diberitahu oleh Zhuma tadi subuh. Diapun langsung berkemas dan naik bis menuju Pontianak. Di Pontianak, dia singgah dulu di rumah tante Zhuma. Setelah itu dia baru minta diantarkan ke rumah sakit ini. Katanya dia chat ke hapeku, tapi mak Nor yang balas.

Aku mengangguk dan mencoba tersenyum. Sungguh baik ibu mertuaku ini. Mau datang jauh-jauh dari Melawi ke Pontianak untukku. Mak Nor yang lebih banyak mengambil porsi pembicaraan karena dia tahu aku belum sanggup banyak bicara.

Sesaat kemudian aku merasakan seolah ada getaran dari dalam kandungan yang membuat kakiku juga bergetar halus.

"Kenapa, Linda ? " Tanya Ibu. Rupanya dia memperhatikan perubahan ekspresi wajahku.

"Kayak ada getaran gitu." Jawabku. Heru segera berlari keluar memanggil perawat. Tak lama dia kembali. Dan perawat itu memeriksa keadaanku setelah mendengar keterangan dariku.

"Tidak apa-apa. Istirahat saja dulu. Mungkin kelelahan. " Katanya lalu tersenyum dan pergi keluar.

Setengah jam kemudian perawat datang lagi, dia mengganti infusku, mengukur tensi, mendengarkan gaung perutku dengan alat khusus.

The Sky And Earth ConquerorWhere stories live. Discover now